“… proses demokrasi di situ ada pemerintah dan ada oposisi. Dua-duanya sama-sama terhormat. Dan ketika proses pengambilan keputusan itu dilakukan, bila ada oposisi maka selalu ada pandangan, perspektif berbeda, yang membuat masyarakat bisa menilai. Karena itu, oposisi itu penting dan sama-sama terhormat,” papar Anies.
Jadi, menurutnya, oposisi itu penting dan terhormat. Tapi sayangnya, tidak semua orang tahan untuk berada jadi oposisi, seperti Prabowo. Lalu apa yang terjadi, tanya Anies? Prabowo sendiri yang menyampaikan bahwa tidak berada di kekuasaan membuatnya tidak bisa berbisnis dan berusaha.
“Sayangnya, tidak semua orang tahan untuk berada jadi oposisi, oke. Seperti yang disampaikan pak Prabowo, pak Prabowo tidak tahan untuk berada jadi oposisi. Apa yang terjadi? Beliau sendiri yang menyampaikan, bahwa tidak berada di kekuasaan membuat tidak bisa berbisnis dan tidak bisa berusaha,” ungkap Anies.
Karena itu ia (Prabowo, red.) harus berusaha berada dalam kekuasaan. Padahal kekuasaan, kata Anies, adalah lebih dari soal bisnis dan uang. Kekuasaan adalah soal kehormatan untuk menjalankan kedaulatan rakyat.
“Karena itu (Prabowo, red.) harus berusaha dalam kekuasaan. Kekuasaan lebih dari soal bisnis, kekuasaan lebih dari soal uang, kekuasaan adalah soal kehormatan untuk menjalankan kedaulatan rakyat,” pungkasnya, Selasa (12/12/2023).
Argumentasi Anies, tentang demokrasi Indonesia tampak empirik (faktual, sesuai kenyataan, red.), sesuai dengan data Economist Intelegence Unit (EIU) tahun 2022 dan Freedom House (FH) tahun 2023. Menurut data EIU Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2022 sebesar 6,71 poin, masuk kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Sedangkan menurut data Freedom House Indeks Kebebasan (demokrasi, red.) Indonesia tahun 2023 sebesar 47 poin, masuk kategori bebas setengah (partly free).