Bangkalan – Dalam politik kontemporer, istilah “demokrasi (democracy)” sering diucapkan dengan bangga oleh para pemimpin politik dan pemerintahan dan digunakan sebagai pilar dasar dalam menilai legitimasi sebuah rezim politik dan pemerintahan.
Namun, di balik tirai panggung politik, seringkali kita menyaksikan fenomena yang menimbulkan pertanyaan serius tentang esensi demokrasi itu sendiri. Fenomena ini dikenal dengan istilah “pseudo demokrasi (demokrasi semu)” – suatu sistem politik yang mengklaim dirinya demokratis, namun pada kenyataannya terkungkung oleh praktik-praktik yang mengekang kebebasan dan keadilan politik.
Pseudo demokrasi (pseudo democracy) bukanlah konsep baru dalam arena politik, tetapi dalam beberapa dekade terakhir, keberadaannya semakin terbuka dan terungkap, menimbulkan perdebatan hangat di antara para ilmuan politik. Bagi mereka, pseudo demokrasi adalah lebih dari sekadar cacat dalam sistem politik; ini adalah bentuk penyimpangan yang merusak esensi demokrasi yang sejati.
Profesor Sarah Thompson (2020), seorang ahli politik terkemuka dari Universitas Harvard, menjelaskan bahwa pseudo demokrasi seringkali muncul di negara-negara yang secara resmi mengadopsi institusi-institusi demokratis, tetapi pada kenyataannya, kekuasaan politik terpusat pada segelintir elit yang mengendalikan proses politik secara eksklusif. Pseudo demokrasi, menurutnya, menciptakan ilusi partisipasi publik, tetapi pada akhirnya hanya memperkuat dominasi kelompok atau individu tertentu.