Hal ini menciptakan impunitas yang mengakar, di mana polisi merasa dapat bertindak tanpa konsekuensi. Dalam konteks ini, partai coklat menjadi entitas yang tidak hanya melayani penguasa, tetapi juga memperkuat budaya korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Persoalan semakin kompleks ketika melihat bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat kontrol kepolisian. Di era digital, pengawasan masyarakat dapat dilakukan melalui pemantauan media sosial, pelacakan data pribadi, dan manipulasi informasi.
Teknologi yang seharusnya menjadi alat pemberdayaan, justru digunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan mengendalikan narasi publik. Ketika polisi menjadi aktor dominan dalam pengelolaan informasi, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang independen dan terpercaya.
Namun, ancaman ini tidak muncul begitu saja. Ada faktor struktural yang memungkinkan kepolisian menjadi begitu kuat secara politik. Salah satunya adalah sistem hukum yang lemah, di mana reformasi kepolisian tidak berjalan efektif pasca-Orde Baru.
Ketergantungan pemerintah pada aparat keamanan untuk menjaga stabilitas juga memperburuk situasi, karena menciptakan hubungan simbiosis antara penguasa dan kepolisian. Dalam banyak kasus, penguasa memberikan keleluasaan kepada aparat untuk bertindak tanpa pengawasan, selama tindakan tersebut menguntungkan rezim yang sedang berkuasa.
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan reformasi institusional, penguatan masyarakat sipil, dan desentralisasi kekuasaan.