Lebih jauh, permasalahan tidak berhenti pada sektor pemerintahan saja. Pengaruh negatif dari praktik mafia judol dan pinjol juga turut merusak mental dan karakter anak bangsa sejak dini. Praktik-praktik ini menanamkan budaya konsumtif dan ketergantungan yang merugikan, menghambat tumbuhnya kreativitas dan semangat belajar.
Jika tidak ada intervensi yang tepat, generasi muda akan terus terjebak dalam siklus kemalasan dan kurangnya inovasi, yang pada gilirannya menutup jalan menuju kemajuan ekonomi dan sosial.
Tidak kalah pentingnya adalah peran para pendidik, yang merupakan ujung tombak dalam membentuk karakter dan kemampuan generasi penerus. Pemerintah dituntut untuk benar-benar teliti dalam menyeleksi dan melatih calon guru.
Proses filtering dan treatment yang ketat harus diterapkan agar hanya mereka yang benar-benar kompeten dan berintegritas yang mendidik anak bangsa. Guru-guru inilah yang nantinya akan menanamkan nilai-nilai semangat kerja, disiplin, dan kreativitas—kunci utama dalam menciptakan SDM yang unggul dan inovatif.
Kita dapat melihat contoh nyata dari negara-negara yang berhasil mengatasi keterbatasan SDA dengan mengutamakan teknologi dan inovasi. Jepang, misalnya, meskipun minim kekayaan alam, telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia melalui penjualan teknologi dan produk bernilai tinggi.
Ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk tidak terjebak dalam paradigma lama yang hanya mengandalkan SDA sebagai sumber pendapatan. Transformasi ekonomi harus dimulai dari peningkatan kualitas SDM, yang pada akhirnya akan menciptakan ekosistem inovasi yang lebih berdaya saing.