Di balik gemerlap berita pertumbuhan ekonomi nasional, terselip kenyataan pahit yang kerap diabaikan: sistem perbankan Indonesia masih sangat terjebak dalam praktik plutokrasi. Di era di mana kemajuan seharusnya diraih melalui inovasi dan inklusivitas, perbankan justru lebih memilih berpihak kepada kelompok elit dan konglomerat besar, meninggalkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam bayang-bayang ketidakadilan.
Fakta empirik ini melahirkan kritik tajam terhadap terhadap sistem perbankan yang ada. Selama bankir mengedepankan sistem plutokrasi—di mana hubungan dekat dan koneksi menjadi kunci utama pemberian kredit—Indonesia tidak akan pernah mampu mencapai kemajuan yang sejati.
Bankir yang seharusnya bekerja secara objektif, ternyata masih terjebak dalam pola pikir yang mengutamakan kepentingan segelintir pihak. Padahal, apabila mereka menerapkan prinsip meritokrasi, proses pencarian nasabah dan penyaluran kredit akan jauh lebih adil dan efisien.
Sistem yang timpang ini terlihat jelas dari kenyataan di lapangan. Swasta besar dan konglomerat selalu mendapatkan privilege yang berbeda, mulai dari kemudahan akses kredit hingga perlakuan khusus dalam proses appraisal aset.
Di sisi lain, pengusaha UMKM—yang sesungguhnya merupakan tulang punggung ekonomi nasional—sering kali harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan fasilitas yang sama. Ketimpangan inilah yang menjadi akar dari stagnasi pertumbuhan ekonomi riil, meskipun statistik makro menunjukkan angka-angka yang menggembirakan.
Di balik data pertumbuhan ekonomi yang kerap dipamerkan di media, tersimpan ironi yang tak terelakkan. Banyak nasabah yang awalnya dianggap sebagai mitra strategis bank, justru berakhir dengan kegagalan finansial. Meskipun bank menyatakan angka Non-Performing Loan (NPL) yang sehat di bawah 5 persen, dampak riilnya terasa di kalangan pelaku usaha kecil.