Bangkalan – Syukur wajib dilakukan oleh orang Islam. Hal ini karena merupakan perintah Allah S.W.T., seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah (Sapi Betina) ayat ke-152.
Kata syukur berasal dari bahasa Arab dari kata asy-syukr. Kata ini artinya adalah ucapan, perbuatan, dan sikap terima kasih atau al-hamdu yang berarti pujian.
Dalam terminologi (peristilahan) syara’ (hukum Islam) syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan oleh Allah S.W.T., yang disertai dengan ketundukan kepada-Nya dan menggunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak-Nya (el-Bantanie, 2009).
Dalam terminologi ilmu tasawuf syukur adalah ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah S.W.T., dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah S..W.T (Akmal dan Masyhuri, 2018).
Orang yang bersyukur menurut M. Quraish Shihab (1996) akan ditambahkan nikmatnya serta balasan oleh Allah S.W.T. Oleh karena itu, besyukurlah! Karena syukur sesungguhnya wujud perintah Allah S.W.T., kepada manusia untuk selalu mengingat-Nya tanpa melupakan dan patuh kepada-Nya tanpa menodai dengan kedurhakaan.
Imam al-Qusyairi (1998) menjelaskan bahwa hakekat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan oleh Allah S.W.T., yang dibuktikan dengan ketundukan kepada-Nya.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan bahwa hakekat syukur adalah pengakuan terhadap nikmat Allah S.W.T., karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah S.W.T.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah (1998) menggambarkan syukur dengan tiga makna. Pertama, mengetahui nikmat, yang artinya menghadirkan nikmat di dalam pikiran, mempersaksikan, dan membedakannya.