Bangkalan – Pers (media massa/media) istilah kawak yang muncul sekitar tahun 1920-an itu, hingga kini tetap digunakan oleh khalayak. Arus informasinya mengalir ke semua lapisan masyarakat, tanpa mengenal lapisan sosial; tak pincang karena harta, tahta, dan kasta, Rabu (9/2/2022).
“Lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik”, begitulah publik mengenal “konsep pers” secara normatif. Konsep ini diperkenalkan oleh rezim era reformasi melalui UU 40/1999.
Namun, pers bukanlah lembaga baru di bumi nusantara! Jauh sebelum negara kita merdeka 17 Agustus 1945, sudah terbit surat kabar “Memories der Nouvelles” tahun 1615.
Media ini digurat dengan tangan, milik Pemerintah V.O.C., di era Gubernur Jenderal V.O.C., Pieterzoon Coen.
Satu abad lebih dari terbitnya media itu, terbit surat kabar cetak “Bataviasche Nouvelles en Ploitique Raisonnementen”, pada 7 Agustus 1744, era Gubernur Jenderal V.O.C., Gustaaf Willem Baron van Imhoof.
Satu setengah abad lebih dari itu, baru pers nasional pertama kali lahir di bumi nusantara. Penandanya, dengan terbitnya “Medan Prijaji” milik pengusaha pribumi, Tirto Adhi Soerjo, di Bandung tahun 1907-1912.
Media ini sebagai pelopor lahirnya pers nasional, yang kemunculannya memicu lahirnya media-media cetak nasional lain pra kemerdekaan negara Indonesia.
Di awal kemerdekaan, peran dan fungsi media-media tersebut mulai tampak. Di era Orde Lama-reformasi, meski terkadang mengalami tekanan, peran dan fungsinya terejawantah dengan baik.