Sutrisno menyindir, “Kalau sudah nyaman jadi Pj Kades, siapa yang butuh Pilkades? Tinggal perpanjang saja SK.” Ucapan itu menyentil betapa entengnya birokrasi memutuskan masa depan desa.
Pj Kades yang awalnya hanya ditugaskan sebagai solusi sementara, kini menjadi fenomena abadi. Tak ada evaluasi dari rakyat, tak ada akuntabilitas, hanya SK dan tanda tangan.
Masyarakat pun mulai bertanya-tanya, apakah Pilkades di Sampang adalah mitos yang diciptakan untuk sekadar bahan diskusi. Di Sampang, urusan pilih-memilih di tingkat desa tampaknya sudah tidak relevan lagi.
“Saya heran, ini Sampang atau kerajaan kecil dengan pengangkatan kepala desa berdasarkan wasiat?” Kata Sutrisno, sembari menertawakan absurditas situasi ini. Ia meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang sadar bahwa desa bukan ladang eksperimen pemilihan kekuasaan politik tanpa Pilkades.
Sampang memang berbeda. Di tengah daerah lain berlomba menyelenggarakan Pilkades, Sampang justru memilih jalur tunda dan sunyi: memperpanjang Pj Kades sampai waktu yang tidak bisa dipastikan.
Ratusan desa dibiarkan dipimpin oleh Pj Kades yang tidak dipilih rakyat. Kalau ini bukan pencapaian prestasi luar biasa hebatnya, lalu apa?