Proses pembuatan ketupat dulunya menghadirkan ritual sosial dan rasa memiliki. Kini, makna itu kian memudar seiring kesibukan hidup masyarakat urban.
“Tellasan Topa’ menjadi cermin bagi kita: kita masih menyantap ketupat, tetapi sering kehilangan ruh yang melingkupinya,” kata Mashuri, pengamat sosial Madura. Kutipan ini menggambarkan hilangnya nilai kebersamaan dalam tradisi yang tetap berlangsung.
Meski begitu, tradisi ini tetap menyimpan harapan untuk dihidupkan kembali dalam kehidupan modern. Nilai-nilai spiritualnya masih bisa menjadi pedoman hidup masa kini.
Yasinan dan Tahlilan masih dilakukan sebagai bentuk doa bersama untuk keselamatan. Tradisi ini membentuk kekuatan batin umat dalam menghadapi kehidupan.
Masyarakat Madura menjadikan Tellasan Topa’ sebagai cara menjaga ajaran lama yang baik sambil terbuka pada hal baru yang lebih baik. Spiritualitas lokal ini menunjukkan kekuatan agama dalam bingkai budaya.
Sesuai dengan kaidah fikih, “al-muhafazhatu ‘ala al-qadimi as-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Memelihara nilai atau ajaran lama yang baik, dan mengambil nilai atau ajaran baru yang lebih baik)”, menjaga Tellasan Topa’ berarti merawat nilai luhur warisan leluhur dan membuka ruang bagi kebaikan baru yang lebih relevan.