JUDUL di atas adalah adagium latin: Vox populi vox Dei atau voice of people, voice of God. Hal itu sering terdengar, terlebih ketika perhelatan hajat akbar yang sering kita sebuat sebagai pemilu. Dasarnya ada pada konsep demokrasi (dari Yunani kuno: demos ‘rakyat’ dan kratos ‘aturan’): sistem pemerintahan yang di dalamnya kekuasaan negara berada di tangan rakyat atau populasi umum dari suatu negara.
Tulisan ini mau menangguhkan, apakah suara rakyat memang suara Tuhan? Kita bisa melihatnya dari tiga kasus di bawah ini.
Pertama, Dalam sejarah Gereja, terjadi peristiwa yang dianggap sebagai Vox Populi Vox Dei, yaitu saat Santo Ambrosius terpilih sebagai uskup Milan. Gereja menghadapi ancaman perpecahan karena aliran sesat yang cukup banyak pengikutnya, yaitu arianisme.
Ketika uskup Milan yang sebelumnya meninggal, keadaan menjadi tegang karena Gereja dan kekaisaran bisa terpecah. Pada saat itu, hubungan antara Gereja dan kekaisaran mulai dekat setelah berakhirnya penganiayaan terhadap Kristen dengan dikeluarkannya edik Konstantin pada tahun 313 di Kota Milano.
Di tengah ketidakpastian suksesi Keuskupan Milano, seorang anak tiba-tiba berteriak “Ambrosius, Uskup”, dan teriakan ini didukung oleh seluruh jemaat.
Ambrosius, meskipun pada waktu itu belum dibaptis, dengan cara yang sat set kemudian mengalami proses baptisasi yang cepat dan ditahbiskan menjadi uskup. Ambrosius, yang memiliki reputasi yang baik dan dikenal sebagai pemimpin yang adil, akhirnya menjadi salah satu penulis ajaran Gereja yang terkemuka dan diangkat sebagai Santo setelah kematiannya.