Bangkalan – Nagasari tak sekadar kudapan manis, melainkan simbol budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat Jawa. Jejaknya tertulis dalam Serat Centini abad ke-18 dan tetap lestari hingga kini, terutama di Yogyakarta.
Kue ini hadir dalam berbagai momen penting, dari kenduri sampai pernikahan, menyatu dengan ritme hidup masyarakat tradisional. Masyarakat kerap menyajikannya dalam perayaan menurut kalender Jawa, menjadikannya bagian dari ritual budaya yang bermakna.
Nagasari terdiri dari adonan tepung beras, santan, dan pisang yang dibalut daun pisang lalu dikukus. Aromanya khas, lembut dalam tekstur, dan kaya cita rasa berkat perpaduan bahan alami yang dipilih dengan cermat.
Pisang raja menjadi isi utama, namun variasi lain seperti kacang tolo dan labu muncul di beberapa daerah di Jawa dan Bali. Tekstur adonan yang kenyal membungkus manisnya pisang menciptakan rasa yang tak mudah dilupakan.
Variasi warna kue ini juga mencerminkan kekayaan bahan alami Nusantara. Pewarna berasal dari gula merah, bunga telang, dan daun suji—menghasilkan nagasari merah, biru, dan hijau yang menggoda mata.
Tepung beras yang dikukus sebelum dicampur berperan penting dalam struktur adonan. Teknik ini membuat nagasari matang lebih padat, mempertahankan kelembutannya sekaligus menyerap santan dengan sempurna.
Proses pembuatannya membutuhkan ketelatenan, mulai dari memasak santan dengan api kecil hingga mengaduk adonan sampai kental. Setelah itu, adonan dibungkus daun dan dikukus selama dua puluh menit agar rasa dan aroma menyatu.