Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) tak memiliki kewenangan dalam menentukan sistem pemilihan umum (pemilu) di Indonesia. Yang memiliki kewenangan terkait itu adalah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jumat (2/6/2023).
Politisi Partai Demokrat (Demokrat) yang juga merupakan anggota Komisi III DPR RI Benny Kabur (K) Harman menyampaikan hal itu dalam akun Twitternya, pada Kamis (1/6/2023) kemarin.
“Wewenang utk menentukan sistem Pemilu apakah pake nomor urut (tertutup) atau suara terbanyak (terbuka) ada pada pembentuk UU yakni Presiden dan DPR,” potongan tweet Benny, Kamis (1/6/2023).
Oleh karena itu, cuit Benny K. Harman menghimbau agar MK tidak melanggar konstitusi. “Janganlah MK melanggar konstitusi,” potongan tweet Benny.
Sinergis dengan hal itu, kata Benny K. Harman, 8 (delapan) dari 9 (sembilan) fraksi yang ada di DPR RI konsisten dengan sistem pemilu terbuka, kecuali 1 (satu) fraksi yang menghendaki sistem pemilu tertutup.
“Dari 9 fraksi yg ada di DPR saat ini hanya ada satu fraksi yg menghendaki sistem tertutup, 8 fraksi lainnya konsisten dgn sistem terbuka,,” potongan tweet Benny.
Sistem pemilu proporsional terbuka ini, menurut Benny K. Harman, Anggota Komisi III DPR RI dari Dapil NTT 1 (satu) ini, adalah sistem pemilu yang menghargai kedaulatan rakyat.
Menurut Benny K. Harman, terkait gugatan perubahan sistem pemilu ke MK, sikap presiden hanya diam saja. Benny menafsirkan sikap ini menunjukkan sikap mendukung perubahan sistem pemilu proporsjonal tertutup. Hanya caranya tidak dengan mengubah UU Pemilu, melainkan dengan meminjam tangan MK.
“Apa sikap presiden? Diam? Saya merasa Presiden Jokowi juga dukung sistem tertutup. Hanya caranya tdk dgn mengubah UU Pemilu melainkan dgn meminjam tangan MK,” potongan tweet Benny.