Jabatan strategis BUMN yang identik dengan kompetensi khusus menjadi ajang bergengsi bagi tim sukses, relawan, atau apapun namanya dalam rezim pemenang pemilu, tidak terkecuali pemilu 2019 lalu. Jabatan itu tidak hanya bernilai secara politik tetapi juga mempunyai nilai sosial-ekonomi yang luar biasa sehingga menjadi ‘alat tukar’ sepadan bagi yang telah berjasa dalam kerja-kerja politik pemenangan. Kompetensi dihadapkan pada situasi rumit dan membutuhkan perhatian khusus pengambil kebijakan sehingga intervensi politik dalam model bisnis saling menguatkan, bukan sebaliknya saling merugikan.
Beberapa waktu lalu, tanpa sengaja penulis dengan bertemu salah seorang pegawai BUMN, yang menceritakan perkembangan BUMN yang cenderung lamban. Alasannya klasik, BUMN sering direcoki kekuatan politik—memasukkan orang yang tidak kompeten di posisi strategis—seperti di jajaran direksi dan komisaris.
Menurutnya, kondisi itu sangat membebani BUMN, yakni bukan hanya harus menyiapkan anggaran yang tidak sedikit tetapi yang lebih mendasar adalah ‘pemborosan’ karena SDM yang ditunjuk tidak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Selain itu, waktu yang mungkin terbatas karena masalah rangkap jabatan, memecah konsentrasi dengan kelembagaan berbeda yang sama-sama membutuhkan perhatian penuh.
Kompetensi mutlak dibutuhkan untuk menjawab tantangan yang semakin cepat. Dengan kompetensi memadai, diharapkan bisnis akan maju lebih cepat di tengah persaingan global. Itu pula yang dirisaukan Dahlan Iskan yang melihat dinamika BUMN Karya cenderung merugi atau laba yang turun drastis.