Jadi, kata Mashuri pemuda asal Madura ini, demokrasi elektoral adalah proses pemilihan pemimpin politik (baik level nasional maupun lokal, red.) yang ditandai dengan adanya kontestasi politik, partisipasi politik, dan jaminan atas hak-hak politik dan kebebasan sipil. Pemilihan pemimpin ini dilakukan secara periodik dalam Pemilu, Pilpres, dan Pemilukada demokratis sesuai dengan aturan main yang ditentukan.
Secara normatif, Pemilu, Pilpres, dan Pemilukada di Indonesia adalah demokratis. Lihat saja, ajak Mashuri, ketentuannya dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Namun, ketika ada intervensi politik dari kekuasaan dalam kebebasan sipil dan cawe-cawe pemerintah dalam Pilpres 2024, demokrasi elektoral ini potensial terancam “tidak demokratis”.
Pendapat Mashuri tersebut tampak empirik dengan data Electoral Democracies in Freedom in the World (Electoral Democracies in FIW) Freedom House tahun 2023. Menurut Freedom House, lembaga nirlaba yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat ini, mengklasifikasikan pemilu di Indonesia masuk dalam kategori “tidak demokratis”.
Status kebebasannya (freedom) berada di setengah bebas (partly free) dengan status hak-hak politik berada di bebas dan kebebasan sipil berada di setengah bebas. Poinnya, skor kebebasannya adalah 3 poin, skor hak-hak politiknya (political rights) 2 poin, dan skor kebebasan sipilnya (civil liberties) sebesar 4 poin.
Dengan kondisi demokrasi elektoral yang kurang membangun terhadap demokrasi politik, Mashuri kemudian mengajak semua kalangan,” Ayo laksanakan Pemilu, Pilpres, dan Pemilukada 2024 dengan baik, sesuai dengan amanah UUD 1945, UU No. 7 Tahun 2017, dan ketentuan Peraturan KPU dan Bawaslu. Jangan main-main lagi, agar elektoral demokrasi kita kembali lagi menjadi demokratis, sesuai amanah reformasi!”