Dalam catatan lain, indikasi kecurangan administratif dan manipulasi data pemilih menjadi sorotan tajam. Beberapa laporan menyebutkan adanya penggelembungan suara, pemilih fiktif, coblos berkali-kali, keperpihakan oknum aparat desa, hingga intimidasi kepada kalangan terkait pilkada.
Praktek-praktek semacam ini menunjukkan bahwa sistem Pilkada, yang seharusnya transparan dan adil, sering kali dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu demi kepentingan politik dan ekonomi pihak tertentu.
Madura juga menjadi saksi bisu kekerasan fisik dalam kontestasi Pilkada 2024. Perseteruan antara pendukung kandidat kerap berujung bentrokan yang memakan korban jiwa dan melukai orang. Konflik semacam ini bukan hanya merugikan secara materi, tetapi juga meninggalkan trauma sosial yang mendalam.
Catatan kritis pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Madura harus menjadi pelajaran penting bagi semua pihak. Masyarakat, pemerintah, penyelenggara pilkada, dan pengawas pilkada harus berkomitmen memperbaiki celah kelemahan sistem pilkada dan menegakkan hukum dengan tegas.
Sosialisasi yang lebih masif dan pendidikan politik berbasis nilai-nilai moral perlu digencarkan agar masyarakat sadar akan pentingnya memilih dengan hati nurani, bukan sekadar tergiur iming-iming materi.
Demokrasi adalah alat untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan arena perebutan kekuasaan yang sarat manipulasi. Madura, dengan segala potensinya, berhak mendapatkan pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyatnya.
Jangan biarkan politik uang, hoaks, ujaran kebencian, kecurangan, dan kekerasan merenggut mimpi orang Madura akan masa depannya yang lebih baik. Pilkada harus kembali menjadi pesta demokrasi yang jujur, adil, dan bermartabat.