Bangkalan – ‘Idulfitri bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga momentum psikologis yang kaya makna. Muhbib Abdul Wahab (2017) dalam artikelnya “Psikologi Idul Fitri” menjelaskan bahwa perayaan ini mengandung dimensi kemenangan, kebahagiaan, dan kerukunan.
Penelitian Ratmi Fathia dan Siti Khairisa (2024) dalam artikelnya “Lebaran dan Psikologi Positif: Membangun Kebahagiaan melalui Tradisi dan Interaksi Sosial di Nanga Tayap” menunjukkan bahwa tradisi Lebaran memperkuat kebahagiaan sosial dan kesejahteraan psikologis. Tradisi ini meningkatkan kualitas hubungan sosial dan emosional.
Secara psikologis, ‘Idulfitri merupakan manifestasi kemenangan melawan hawa nafsu selama Ramadan. Kemenangan ini menegaskan bahwa manusia mampu mengendalikan dirinya dan kembali kepada fitrah yang suci.
Imam Al-Ghazali menekankan bahwa puasa Ramadan bertujuan mengubah manusia dari abdul hawa menjadi abdullah yang bertakwa. Proses ini membentuk karakter yang lebih disiplin dan berakhlak mulia.
Kebahagiaan dalam ‘Idulfitri bukan hanya bersifat individu, tetapi juga sosial. Tradisi silaturahim (silaturahmi, red.) dan saling memaafkan membentuk kedekatan emosional yang meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Masyarakat merasakan kepuasan hidup yang lebih besar melalui interaksi sosial yang intens selama perayaan. Hal ini memperkuat rasa kebersamaan dan solidaritas dalam komunitas.
Tradisi mudik menjadi salah satu bentuk psikologi kebahagiaan yang khas dalam ‘Idulfitri. Pulang ke kampung halaman memperkuat ikatan keluarga dan menghadirkan nostalgia yang memberikan ketenangan jiwa.
Perjalanan panjang dan biaya besar yang dikeluarkan menjadi bagian dari pengorbanan yang berbuah kebahagiaan. Banyak orang merasa lebih dekat dengan keluarga setelah melalui proses mudik ini.