Jakarta – Konsumen mengalami kerugian besar akibat praktik Pertamax Oplosan yang dilakukan oleh mafia migas. Mereka membayar harga Pertamax, tetapi menerima BBM dengan RON lebih rendah yang tidak sesuai standar.
Modus operandi mafia migas semakin kompleks dan sulit terdeteksi. Menurut data Policy Brief LBH Jakarta dan CELIOS (2025), pertama, mereka menolak minyak mentah dari KKKS ke kilang Pertamina dengan alasan spesifikasi tidak sesuai.
Kedua, mereka membuka peluang impor BBM dengan RON rendah. Praktik ini meningkatkan risiko keuangan negara karena membebani APBN melalui subsidi dan kompensasi BBM.
Ketiga, mereka mencampur BBM dengan kualitas rendah untuk dijual sebagai Pertamax. Blending ilegal ini mengakibatkan konsumen mendapatkan produk di bawah standar dengan harga lebih mahal.
Sejarah menunjukkan permainan RON rendah sudah terjadi sebelumnya. Pemerintah pernah mengandalkan Premium (RON 88) yang disubsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
Kasus Mafia Migas Jilid I pada 2010-2013 menunjukkan pola serupa. Saat itu, Pertamina mengimpor RON 88 melalui Petral dan PES, yang akhirnya merugikan keuangan negara karena praktik korupsi.
Pertamax pertama kali diperkenalkan pada 1999 untuk menggantikan bahan bakar berbahaya bagi lingkungan. Dengan standar internasional, BBM ini ditujukan bagi kendaraan modern dengan rasio kompresi tinggi.
Sejak 2015, pemerintah mendorong peralihan dari Premium ke Pertamax. Kebijakan ini mengurangi beban subsidi, tetapi membuka celah bagi mafia migas untuk memainkan harga dan kualitas BBM.
Pertumbuhan populasi dan industri meningkatkan konsumsi BBM di Indonesia. Kualitas BBM menjadi faktor penting karena mempengaruhi performa mesin dan dampak lingkungan.