Itu berbanding terbalik dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2005 dan perubahannya, agar memperhatikan dan mengedepankan keahlian, profesionalisme, dan integritas dari calon anggota direksi dan/atau komisaris/dewan pengawas yang bersangkutan untuk memajukan dan mengembangkan perusahaan. Pada diktum selanjutnya disebutkan bahwa tes kelayakan dilakukan secara transparan dan akuntabel. Nama-nama yang dijaring untuk menjadi komisaris harus melalui penilaian dari Tim Penilai Akhir (TPA). Dengan cara itu, siapapun yang ditunjuk, mempunyai standar kriteria yang jelas dan kapasitas yang mumpuni dalam jabatan dimaksud.
Diantara komisaris yang ditunjuk sebagai perwakilan pemerintah, tidak dipungkiri ada yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan tetapi ada juga yang masih dipertanyakan kompetensinya. Tentu, penunjukan demikian seperti memberikan cek kosong bagi BUMN, dimana perannya cenderung tidak memberikan kontribusi signifikan dan menjadi beban, yang pada akhirnya berdampak buruk pada perkembangan perusahaan.
Fenomena ini kontradiksi dengan kondisi ideal BUMN. BUMN seharusnya memperlihatkan transparansi dan akuntabilitas publik sebagai upaya mewujudkan good corporate governance. Transparansi dan akuntabilitas publik ini tidak hanya dalam memberikan laporan tahunan tetapi juga dalam setiap proses kebijakan, di dalamnya termasuk dasar-dasar rekrutmen SDM yang menentukan arah dan melaksanakan kebijakan organisasi.
Kompetensi dan Efisiensi Jadi Kata Kunci Keberhasilan?
Dahlan Iskan dan Erick Tohir sepakat bahwa efisiensi sebagai hukum dasar bisnis menjadi kunci keberhasilan di BUMN. Namun bagaimana menerapkan efisiensi saat berhadapan dengan intervensi politik? Tentu, jawabannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Interelasi antara politik dan ekonomi tidak dapat dipungkiri hadir dalam BUMN.