Laki-Laki Dominan, Kukuhkan Ketimpangan Representasi di DPRD Sampang 2024-2029

Madurapers
Ilustrasi representasi (keterwakilan) perempuan di DPRD Kabupaten Sampang untuk periode 2024–2029. Tingkat keterwakilan perempuan tercatat hanya 6,67 persen—terpaut jauh dari ambang batas ideal 30 persen yang dianjurkan untuk mendorong kesetaraan gender dalam politik lokal.
Ilustrasi representasi (keterwakilan) perempuan di DPRD Kabupaten Sampang untuk periode 2024–2029. Tingkat keterwakilan perempuan tercatat hanya 6,67 persen—terpaut jauh dari ambang batas ideal 30 persen yang dianjurkan untuk mendorong kesetaraan gender dalam politik lokal. (Sumber foto: Madurapers, 2025)

Demokrat menjadi satu-satunya partai dengan komposisi setara, satu laki-laki dan satu perempuan. Rasio 50 persen ini membuktikan bahwa representasi seimbang bukan sesuatu yang mustahil jika partai memiliki komitmen politik yang jelas.

Jika dihitung berdasarkan keseluruhan kursi, hanya 8,89 persen yang berhasil diisi oleh perempuan, yakni 4 dari 45 kursi. Artinya, DPRD Sampang masih kekurangan 21,11 persen untuk memenuhi kuota minimal 30 persen perempuan menurut regulasi nasional.

Ketentuan kuota 30 persen perempuan di parlemen bukan sekadar angka simbolik, melainkan instrumen afirmatif untuk menciptakan keadilan substantif dalam pengambilan keputusan politik. Kegagalan mencapainya berarti mengabaikan prinsip keadilan dan potensi kontribusi perempuan dalam kebijakan publik.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan bias sistemik dalam seleksi calon legislatif, tetapi juga lemahnya keberpihakan partai terhadap isu kesetaraan gender. Proses pencalonan masih didominasi pertimbangan pragmatis ketimbang kepentingan representasi.

Kondisi ini memperkuat kritik bahwa sistem pemilu proporsional terbuka tanpa mekanisme pengaman (safety mechanism) terhadap representasi atau keterwakilan perempuan cenderung menghasilkan parlemen yang maskulin (dominasi jenis kelamin laki-laki, red.). Tanpa koreksi struktural, ketimpangan ini akan terus berulang.

DPRD Sampang 2024–2029 menjadi cermin bagaimana partai politik gagal menjalankan tanggung jawabnya dalam memperjuangkan keterwakilan setara. Ketimpangan ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga melemahkan kualitas demokrasi lokal.