Tapi, sayang seribu sayang, di zaman ini masih minim yang mempromosikan literasi hingga level keempat. Sejauh ini para pengambil kebijakan di negeri kita menetapkan bahwa pembelajaran literasi di tingkat SMP sederajat diarahkan ke level ke-2, sedangkan di tingkat SMA sederajat diarahkan ke level ke-3. Bukan hal yang tidak mungkin jika di tingkat SMA sederajat, atau bahkan di tingkat SMP sederajat, pendidik akan menemukan anak didiknya sudah punya skill literasi level ke-4. Meskipun itu hanya terjadi dalam kasus-kasus partikular semata.
Akhir Kata
Jadi, salah satu potensi yang harus dibangun habis-habisan oleh pendidikan khusunya untuk generasi muda milenial adalah keterampilan berliterasi, berbahsa dan berbudaya orang tidak hanya bisa menggunakan salah satu dari tiga hal tersebut sebagai media untuk menunjukkan identitasnya. Akan tetapi orang dapat pula mengembangkan imajinasi dari ketiganya sehingga memungkinkan kreatifitas ketiganya memberikan nilai lebih dari sekedar membangun identitas individu, komunitas dst. Seperti dalam bahasa, kita bisa belajar pada apa yang telah dicontohkan Joyce. Bahasa itu adalah kekuatan disebabkan kata-kata tidak saja dapat membuat orang menjadi paham, akan tetapi dapat menggerakkan, memengaruhi, menggiring, dan menghipnotis. Ada banyak cara dalam memanfaatkan kekuatan bahasa.
Joyce menggunakan neologi di dalam berbagai novelnya hingga membuat novelnya begitu imajinatif. Jacques Derrida dengan skill bahasa lay-outnya, pierre boudieu dengan kekuatan kalimatnya yang panjang. Dalam hal budaya kita juga bisa belajar pada sunan kalijaga dalam kejeniusannya menjadikan budaya sebagai alternatif dakwah yang efektif. Terakhir, tentu saja literasi, selain menjadi komponen tak terpisahkan dalam menciptakan kreatifitas berbahasa dan berbudaya, literasi menjadi alutsista generasi milenial di era internet of thing ini.