PPn ini menurut UU HPP Pasal 7 ayat (1) huruf a dan b tarifnya sebesar 11% mulai berlaku pada 1 April 2020 dan tarif 12% mulai berlaku pada 1 Januari 2022.
Jadi, berdasarkan pasal UU tersebut menurut mantan Menkeu ini pemerintah diberikan kekuasaan untuk menetapkan dan membebaskan PPn (baik sementara waktu maupun selamanya) pada barang tertentu.
Ketentuan pasal UU ini praktis tidak memberikan kepastian hukum, dimana PPn diserahkan pada pemerintah oleh DPR RI, bisa dikenakan atau tidak.
Dengan kewenangan ini DPR RI menyerahkan cek kosong pada pemerintah. Kok ya tega-teganya, nyodorin, yang praktis bisa kewenangan pengaturan seluruhnya, praktis dari UU tersebut, sepenuhnya diminta cek kosong dari pemerintah, ungkap Fuad Bawazier.
Bahayanya Menkeu bebannya menjadi berat. Target PPn terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) harus tercapai, sementara PPn akan menjadi objek lobi berbagai pihak (wajib pajak), baik melalui jalur partai, istana, dan sebagainya, sehingga membuat Menkeu jadi tertekan.
Pengusaha besar, dalam keadaan tanpa kepastian hukum ini, potensial akan melakukan lobi, sehingga akan menjadi pasar lobi. Sementara kalangan lain (bawah) tergantung pada nasib aja. UU seperti ini menurutnya sulit memberikan keadilan, ketidakpastian pada investor, dan sulit tercapainya tax ratio (rasio pajak).
Jadi, aturan ini menjajdi tidak jelas. Hal ini karena item tarifnya tidak diitentukan, sebaliknya kewenangannya yang ditentukan.
Selain itu, dalam UU ini program pengungkapan sukarela wajib pajak, tax amnesty jilid II. Tapi jiwanya tax amnesty (pengampunan pajak) ini adalah terhadap pengusaha yang suka mengecilkan hartanya.
Anehnya tindakan ini tidak dikaitkan dengan tindakan kriminal. Padahal bisa jadi yang mengungkapkan hartanya dari kalangan pengusaha ilegal.
