Mengupas Falsifikasionisme Karl Popper: Filosofi yang Mencerahkan

Madurapers
Falsifikasionisme Karl Popper, bukanlah sekadar sebuah teori metodologis, tetapi sebuah pandangan filosofis yang mendalam tentang sifat pengetahuan itu sendiri, yang dapat dimanipulasi dan diuji kebenarannya
Falsifikasionisme Karl Popper, bukanlah sekadar sebuah teori metodologis, tetapi sebuah pandangan filosofis yang mendalam tentang sifat pengetahuan itu sendiri, yang dapat dimanipulasi dan diuji kebenarannya (Sumber foto: Istimewa, 2024).

Bangkalan – Dalam kehidupan intelektual, ada sejumlah tokoh yang menancapkan jejak tak terlupakan dalam sejarah pemikiran manusia. Salah satunya adalah Karl Popper, seorang filsuf Austria yang terkenal dengan konsepnya tentang falsifikasionisme. Konsep ini tidak hanya membentuk dasar bagi metode ilmiah modern, tetapi juga memberikan pandangan yang dalam tentang sifat pengetahuan dan evolusi kebenaran dalam masyarakat manusia.

Falsifikasionisme, sebagaimana yang dirumuskan oleh Popper, bukanlah sekadar sebuah teori metodologis, tetapi sebuah pandangan filosofis yang mendalam tentang sifat pengetahuan itu sendiri. Popper menegaskan bahwa suatu teori atau hipotesis dapat dianggap ilmiah jika dan hanya jika dapat dipalsukan, artinya, ada kemungkinan untuk menguji kebenarannya. Konsep ini merupakan penolakan terhadap verifikasionisme, yang menganggap bahwa kebenaran suatu teori dapat dikonfirmasi secara positif melalui pengamatan.

Dalam pandangan Popper, sebuah teori tidak pernah bisa diuji secara sempurna atau sepenuhnya dikonfirmasi. Sebaliknya, satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah mencari bukti yang mungkin untuk membuktikan bahwa teori tersebut salah. Ini adalah prinsip dasar dari falsifikasi. Dengan cara ini, pengetahuan ilmiah tidak pernah menjadi dogma atau kebenaran mutlak, tetapi selalu terbuka untuk revisi dan perbaikan.

Konsep utama falsifikasionisme: Pertama, Uji Coba dan Kesalahan: menurut Popper, sebuah teori ilmiah haruslah bisa diuji dan dapat dipatahkan. Ini berarti teori itu harus memberikan prediksi yang bisa diuji kebenarannya. Jika teori tersebut tidak bisa diuji, maka teori tersebut tidaklah ilmiah.

Kedua, Falsifikasi: jika prediksi dari sebuah teori tidak sesuai dengan hasil uji coba, maka teori tersebut haruslah dinyatakan salah atau “falsifikasi”. Dengan kata lain, sebuah teori tidak pernah menjadi “benar”, tetapi hanya bisa bertahan sampai bukti yang lebih baik muncul untuk menolaknya.

Ketiga, Pembaruan Teori: salah satu kekuatan dari falsifikasionisme adalah kemampuannya untuk memacu perkembangan ilmiah. Jika sebuah teori berhasil dipatahkan, itu berarti ada ruang untuk mengembangkan teori baru yang lebih baik dan akurat.

Contoh sederhana falsifikasionisme: Bayangkan Anda memiliki teori bahwa semua angsa berwarna putih. Anda menguji teori ini dengan mencari angsa di seluruh dunia dan menemukan bahwa semuanya putih. Namun, saat Anda pergi ke Kota Lombok, Anda menemukan seekor angsa hitam. Dengan menemukan satu kasus yang tidak sesuai dengan teori Anda, teori itu dapat dipatahkan.

Falsifikasionisme Popper memainkan peran kunci dalam evolusi ilmiah selama abad ke-20. Ini telah membantu mengatasi berbagai tantangan metodologis yang dihadapi oleh ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang-bidang seperti fisika dan biologi. Misalnya, teori relativitas Einstein dan teori evolusi Darwin, meskipun sudah dianggap sebagai teori yang mapan, tetap terbuka untuk diuji dan dipalsukan.