Surabaya – Pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 menjadi topik yang sering diperdebatkan akhir-akhir ini, terutama ketika hasilnya menuai keberatan dari pihak-pihak tertentu, Jumat (27/11/2024).
Pelanggaran ini dianggap sebagai bentuk kecurangan yang paling serius karena memiliki dampak signifikan terhadap hasil Pilkada, bahkan dapat berujung pada diskualifikasi pasangan calon (Paslon).
Dalam konteks hukum, Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018, kata Ahmad Mudabir, advokat muda asal Jawa Timur, memberikan definisi dan kerangka kerja yang jelas tentang pelanggaran TSM ini di Pilkada.
Secara sederhana, kata praktisi hukum ini, pelanggaran TSM adalah pelanggaran Pilkada yang dilakukan dengan melibatkan aparat struktural, direncanakan secara matang, dan memberikan dampak luas terhadap hasil Pilkada.
Pelanggaran ini, katanya, dibagi menjadi dua jenis: pertama, pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme administratif dalam setiap tahapan Pilkada yang dilakukan secara TSM.
Kedua, tindakan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilu/pilkada atau pemilih secara TSM.
Makna “terstruktur” merujuk pada pelanggaran yang melibatkan struktur formal, seperti penyelenggara pemilu/pilkada, aparatur pemerintahan, atau aparatur sipil negara (ASN).
Sementara itu, “sistematis” menunjukkan bahwa pelanggaran dirancang secara terencana dengan langkah-langkah yang rapi dan terorganisir.
Sedangkan “masif” berarti dampaknya sangat luas, memengaruhi lebih dari 50% wilayah pemilihan, seperti desa, kecamatan, atau tempat pemungutan suara (TPS).