Peluang dan Tantangan Dinamika Ekonomi dan Keamanan di Kawasan Asia-Pasifik bagi Indonesia

Madurapers
Foto bersama kegiatan General Lecture: Peluang dan Tantangan dinamika ekonomi dan keamanan di kawasan asia dan pasifik bagi Indonesia serta Book Launching: pengantar studi hubungan bilateral tiongkok dengan negara-negara di Asia dan Pasifik. (2/10/2025)

Jakarta – Kawasan Asia dan Pasifik saat ini menjadi episentrum dinamika geopolitik dan geoekonomi dunia. Persaingan kekuatan besar, transformasi tatanan perdagangan global, serta tantangan keamanan maritim menjadikan kawasan ini strategis sekaligus penuh dengan kompleksitas. Menyadari hal tersebut, Universitas Paramadina mengadakan General Lecture: Peluang dan Tantangan dinamika ekonomi dan keamanan di kawasan asia dan pasifik bagi Indonesia serta Book Launching: pengantar studi hubungan bilateral tiongkok dengan negara-negara di Asia dan Pasifik. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian sesi International Conference on Democracy, Prosperity, Sustainability, and Peace: Problems and Prospects yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerja sama dengan Universitas Pertahanan Republik Indonesia diadakan pada Kamis (2/10/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Prof. Aleksius Jemadu menegaskan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia tengah menghadapi kombinasi antara ketidakpastian global dan meningkatnya gejolak geopolitik. Menurutnya, keterlibatan Indonesia dalam forum BRICS tidak berarti meninggalkan ASEAN yang sejak lama menjadi platform utama diplomasi Indonesia

“Indonesia akan tetap menjaga ASEAN sebagai jangkar kebijakan luar negeri, namun di saat yang sama juga memperluas jejaring dengan kekuatan besar lainnya. Presiden mendatang dihadapkan pada tantangan serius, baik eksternal maupun internal, dan bagaimana ia mengelola kebijakan luar negeri akan sangat menentukan arah Indonesia hingga 2029” ungkap Prof. Aleksius.

Prof. Aleksius menyoroti perubahan dalam sistem perdagangan internasional yang semakin bergeser dari rule-based menuju deal-based. Pergeseran ini, menurutnya, menuntut Indonesia untuk memperkuat posisi tawarnya dalam negosiasi global. “Ekspor Indonesia ke negara-negara BRICS saat ini didominasi oleh Tiongkok. Namun, jika dibandingkan dengan G7, Amerika Serikat juga masih memegang peran penting. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan strategi keseimbangan agar dapat memanfaatkan peluang dari keduanya” jelas Prof. Aleksius.

Berdasarkan data Lowy Institute (2024), Tiongkok menempati posisi teratas sebagai mitra dagang Indonesia dengan porsi impor sebesar 24%, sementara Amerika Serikat berada di angka 6,9%. Hal ini menunjukkan bahwa kerja sama ekonomi Indonesia dengan Tiongkok berada pada fase pendalaman dan perluasan, meskipun keseimbangan dengan mitra lainnya tetap diperlukan.

Selain itu, Prof. Aleksius mengingatkan pentingnya ketahanan pangan dan kemandirian nasional. “Indonesia harus tetap berpegang pada prinsip hukum internasional dan tidak boleh bergantung penuh pada negara lain dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Di tengah status Indonesia sebagai middle power, kemandirian dan keberanian memainkan diplomasi akan menentukan posisi Indonesia dalam tatanan global yang penuh ketidakpastian,” tegasnya.