Pemberian kewenangan kepada partai politik untuk menghentikan (mem-PAW) anggota DPRD rentan disalahgunakan manakala pihak-pihak yang berwenang dalam proses PAW tidak cermat dan tidak objektif dalam menerapkan ketentuan pasal aquo.
Pengusulan dan pemberhentian anggota DPRD oleh partai politik dipersyaratkan dengan harus mematuhi peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Artinya, tidak cukup bagi partai politik dan pejabat lain yang berwenang, dalam proses PAW anggota DPRD, hanya berpedoman pada ketentuan Pasal 193 ayat (2) huruf E dan h UU 23/2014. Tetapi juga harus secara cermat memperhatikan dan berpedoman ketentuan hukum yang lain.
Pengaturan PAW anggota DPRD berbanding lurus dengan besarnya legitimasi anggota DPRD, yang diperoleh langsung dari rakyat.
“Pentingnya posisioning anggota DPRD dalam konfigurasi ketatanegaraan Indonesia, sehingga partai politik tidak bisa secara ugal-ugalan memberhentikan anggota DPRD,, tanpa alasan yang jelas. Meskipun keberangkatannya berasal dari pengusungannya,” tutur Jamil.
“Penjelasan Pasal 193 huruf h, juga mempertegas syarat penggunaan wewenang partai politik dalam memberhentikan anggota DPRD yang diusungnya,” ungkapnya.
“Yaitu, harus menunggu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Inkracht van Gewijsde),” ungkapnya lebih lanjut.
Jamil menjelaskan, di samping pengaturan secara ketat, alasan pemberhentian anggota DPRD, pengaturan secara ketat juga terdapat dalam rentetan mekanisme pemberhentian anggota DPRD.
Pasal 194 dan 195 UU 23/2014 mengatur betapa banyaknya tahapan yang harus dilalui dalam memberhentikan anggota DPRD oleh partai politik.