Kelima, pembatasan akses dan diskriminasi, seperti: (1) membatasi akses ke fasilitas pemilihan bagi kelompok tertentu, dan (2) diskriminasi terhadap pemilih atau kandidat berdasarkan faktor tertentu seperti ras, agama, atau gender. Keenam, manipulasi sistem pemilu, seperti: (1) mengubah aturan pemilihan atau batasan kandidat secara tidak adil, dan (2) memanipulasi pembagian daerah pemilihan untuk keuntungan politik tertentu.
Banyak ilmuan politik dan kepemiluan berupaya untuk menggambarkan berbagai tindakan manipulasi pemilu. Deskripsinya tentang hal itu memberikan kita peta yang menarik tentang taktik dan motif di berbagai konteks politik.
Ada beberapa deskripsi ilmiah tentang manipulasi pemilu dalam kaia empirik ilmuan politik dan kepemiluan. Pertama, Schedler (2002) menghubungkan manipulasi pemilu dengan negara demokrasi baru yang muncul. Rezim otoritarian menggunakan pemilu sebagai alat untuk mempertahankan legitimasi mereka dengan cara menyelenggarakan pemilihan secara berkala.
Kedua, Ziblatt (2009) menyoroti kaitan antara manipulasi pemilu, kelas masyarakat, dan kepemilikan modal. Manipulasi pemilu di rezim hybrid dan otoritarian sering dilakukan secara terstruktur dan sistematis, memanfaatkan ketidaksetaraan ekonomi dan sosial.
Ketiga, Kovalov, Alston, dan Gallo (2009) menjelaskan bagaimana manipulasi pemilu terjadi dengan memanfaatkan celah peraturan dan lemahnya penegakan hukum. Ini menciptakan lingkungan di mana tindakan manipulatif dapat dilakukan tanpa hambatan yang signifikan.
Keempat, Yusra dan Darmawan (2017) memaparkan bahwa di rezim demokrasi yang cacat, manipulasi pemilu terutama terjadi dalam proses pencalonan. Strategi ini dilakukan untuk menghambat kandidat pesaing terkuat, memberikan keunggulan bagi calon yang diinginkan.