Selanjutnya, diperjelas oleh Kamela (1989) megenai politik identitas, bahwa kesukuan medapatkan peranan yang penting, ia mejadi simbol-simbol budaya yang menciptakan kelompok khusus. Terbukuti di pemilu Pilgub DKI simbolisasi dan narasi memilih pemimpin harus seiman atau pemimpin muslim.
Pemimpin yang di maksud adalah, pemimpin yang pribumi dan non pribumi menjadi variabel politik. Sehinga, banyak kalangan yang menilai Indonesia sekarang sedang mengalami gejolak potensi konflik baru khususmya negara adan agama, bercontoh pada tingginya tensi politik identitas pada pemilihan gubernur Jakarta.
“Perlu digaris bawahi, bahwa politik identitas merupakan dilema bagi berkembangnya demokrasi di Indonesia. Sekedar warna atau ancaman Demokrasi? Ya Indoneia merupakan Negara yang multicultural yang mana didalamnya terdapat banyak agama, suku dan Ras,” tukasnya
“Kalau melarang gerakan politik misal dengan atribut agama, ya sama saja kita melarang mereka bernapas dengan oksigennya, karena dengan agama solideritas komunal bisa terbangun dimana hal itu akan mendukung dan memperoleh apa yang menjadi tujuannya. Lebih lanjut menurut Habibi (2018), Hal positif yang diambil dari politik identitas ada upaya untuk tetap melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan sehingga penguatan budaya tidak akan luntur dan hilang,” tambahnya
Politik identitas yang di maksud, politik identitas bukan hanya sekedar corak demokrasi di Indonesia dikarenakan negara yang plural. “Ya, jika menggunkan agama, suku dan ras sebagai atribut politik secara membabi buta dan overdosis, politik Identitas pasti mempunyai dampak bagi kualitas Demokrasi di Indonesia, sistem polariasi akan tercipta di tengah masyarakat yang mana hal itu bisa berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan sekaligus menodai pancasila dan kebinekaan,” Pungkasnya, sembari menutup pembicaraan.