Opini  

Refleksi Kepemimpinan Menjelang Muktamar NU Ke-34

Abdul Mukhlis
Abdul Mukhlis, alumni Ilmu Politik Universitas Airlangga

Munculnya banyak kandidat perlu diapresiasi sebagai pembangunan demokrasi dan pendidikan politik, khususnya bagi Jamiyah, namun bisa juga menjadi ancaman jika menjadikan kekuasaan sebagai tujuan dan gagalnya rekonsiliasi pasca muktamar yang akan mengikis dan merongrong spirit demokrasi itu sendiri.

Belajar dari Masa Lalu
Muktamar NU ke,-33 memberikan pelajaran berharga yang tidak terlupakan sebagai pembelajaran bersama dalam sejarah pemilihan pemimpin NU, yang menyisakan residu yang mana hingga kini masih membekas, khususnya bagi Jam’iyah.

Masa lalu kelam sangat disayangkan oleh banyak pihak termasuk ketua terpilih, Kiai Said Agil Siradj, yang merasa malu terjadi kegaduhan sampai tidak bisa ditolerir. Pimpinan GP Ansor juga memberikan penilaian yang paling tidak mendidik sepanjang sejarah Muktamar sejak berdirinya Nahdlatul Ulama 1926.

Menurutnya, kekisruhan dalam Muktamar NU disebabkan adanya pemaksaan penggunaan metode AHWA untuk pemilihan Rais Aam. Sistem pemilihan ini baik, tetapi caranya salah, kurang dialogis.

Ketidakpuasan muktamirin mulai dari proses awal, pelaksanaan, dan hasil muktamar sangat berimbas pada lemahnya legitimasi moral keputusan dan hasil muktamar, walaupun secara hukumbhasilnya tidak dapat diganggu gugat dan tetap akan menjalankan organisasi selama masa bhaktinya.

Namun demikian, bukan berarti menafikkan masalah mendasar dalam pelaksanaannya. Demokrasi prosedural yang dibangun dalam muktamar terjebak pada conflict of interest, perdebatan yang tidak terkendali, pertarungan kekuasaan dalam pemilihan pemimpin yang merubah arah subtansi dari tujuan muktamar menjadi aksi dukung mendukung yang berlebihan untuk memenangkan jagoannya.

Tinggalkan Balasan

error:

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca