Jakarta – Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang sedang dibahas DPR RI menuai kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Koalisi Masyarakat Sipil menilai bahwa revisi ini masih mengandung banyak celah hukum yang berpotensi melemahkan perlindungan hak asasi manusia.
Pada 20 Maret 2025, Komisi III DPR RI mengumumkan penerimaan surat presiden terkait pembahasan RUU KUHAP. Ketua Komisi III, Habiburokhman, menegaskan bahwa revisi ini tidak akan mengubah wewenang aparat penegak hukum secara signifikan. Namun, setelah mencermati isi draft, Koalisi Masyarakat Sipil menemukan lima persoalan mendasar yang bertentangan dengan klaim tersebut.
1. Lemahnya Jaminan Pencegahan Penyiksaan
RUU KUHAP mencantumkan ketentuan rekaman CCTV dalam pemeriksaan tersangka. Namun, pemasangan CCTV tidak bersifat wajib, sehingga aparat penegak hukum tetap memiliki celah untuk melakukan kekerasan. Selain itu, rekaman CCTV sepenuhnya berada dalam penguasaan penyidik, tanpa mekanisme checks and balances yang independen.
Seharusnya, pengelolaan rekaman CCTV dilakukan oleh lembaga netral agar bukti bisa diakses secara adil oleh tersangka maupun penuntut umum. Sayangnya, RUU KUHAP juga tidak mengatur mekanisme akses rekaman bagi tersangka di pengadilan. Tanpa regulasi yang jelas, hak pembelaan tersangka masih berpotensi terabaikan.
2. Hak Kelompok Rentan Hanya Simbolik
RUU KUHAP mengatur hak kelompok rentan dalam pasal 137-139. Namun, regulasi ini tidak dilengkapi dengan mekanisme operasional yang memastikan hak-hak tersebut dapat diakses. Akibatnya, aturan ini hanya menjadi formalitas tanpa jaminan perlindungan yang nyata.