Sengketa Pilkades dan Carok di Madura
Konflik pasca Pilkades di Madura marak terjadi, hal itu sebagai akibat dari perselisihan yang timbul dari perhelatan kontestasi Pemilihan Kepala Desa. Tidak tanggung-tanggung, konflik tidak hanya adu mulut dan sumpah serapah, tetapi juga sampai terjadi kekerasan fisik. Banyak track and record (rekam dan jejak) tentang carok akibat Pilkades di Madura, salah satunya di Pamekasan pada tahun 2015 (suara.com/15/11/15), pembunuhan pada tahun 2017 di Belega dengan motif perselisihan dalam Pilkades (jatim.antaranews.com/12/05/17), penganiayaan hingga tewas di Sampang tahun 2020 (radarmadura.id/23/05/20), kericuhan di Sumenep gara-gara Pilkades tahun 2019 (wartaekonomi.co.id/08/11/2019) dan masih banyak lagi tindak kriminal akibat sengketa Pilkades.
Sengketa semacam di atas umumnya muncul akibat kecurangan yang terjadi dalam Pilkades yang mengakibatkan ketidak puasan bagi salah satu calon yang merasa dicurangi dan penyelesaiannya seringkali ditempuh jalan kekerasan, Carok. Hal ini harus diantisipasi oleh pemerintah kabupaten dengan menyediakan ruang bagi para pihak yang bersengketa sehingga para pihak menemukan suatu lembaga atau badan yang sah secara undang-undang sebagai tempat mencari keadilan seperti halnya sengketa Pilpres dsb. Wadah atau ruang bersengketa yang sah ini penting diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat, selain untuk melerai konflik antar pihak, juga untuk mengedukasi warga bahwa konflik hasil Pilkades hendaknya diselesaikan melalui jalur hukum, bukan kekerasan fisik.
Namun, karena pemilihan kepala desa bukan termasuk Rezim Pemilu, maka pengaturan penyelesaian sengketa yang diatur dalam Rezim Pemilu tidak bisa diaplikasikan pada Pilkades. Hal ini kita lihat bahwa pemilihan kepala desa bukan termasuk dalam Rezim Pemilu menurut Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak bisa diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan.
Oleh karena UU Desa Pasal 37 (6) sudah memberikan kewenangan kepada Bupati/Walikota dalam penyelesaian sengketa suara hasil Pemilihan Kepala Desa (sengketa non-pidana), maka antisipasi tersebut harus tetap dijalankan sesuai amanat pasal di tatas. Dalam hal UU Desa tersebut tidak menyebutkan secara detail mekanismenya, maka harus ditetapkan suatu aturan tersendiri baik berbentuk Perkab atau Perbup seperti halnya di Sleman Yogyakarta atau daerah-daerah lain, sehingga alur dalam penyelesaian sengketa hasil Pilkades menjadi jelas dan tidak dipandang politis nantinya.