“Pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat. Hak pemilih tidak boleh dianulir begitu saja. Hal ini menimbulkan gambaran buruk terkait hak pemilih dan kandidat,” tegasnya.
Menurut Dr. Jamil, S.H., M.H., kasus ini menggambarkan pelanggaran terhadap dua hak utama dalam Pemilu, yaitu hak pemilih dan hak kandidat.
“Tercerabutnya hak vital ini memberikan dampak buruk pada demokrasi. Hak pemilih yang telah menyalurkan suara mereka, dan hak kandidat yang memperoleh suara terbanyak, harusnya dijaga,” tambahnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Penggugat (Dodik Rahardiyono, red.), Abdul Hakim, S.H., M.H., mengaku bahwa dirinya menghadirkan saksi ahli untuk membuktikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh KPU Kota Madiun tidak sah, jika berdasarkan SK Gubernur Caleg Terpilih dijatuhkan kepada Tutik Endang Sri Wahyuni, bukan berdasarkan hasil perolehan suara.
“Oleh karena itu, kami memohon kepada Mahkamah PTUN Surabaya untuk membatalkan penetapan caleg terpilih atas nama Tutik Endang Sri Wahyuni sesuai SK Gubernur dan menerima permohonan kami, untuk menetapkan klien kami sebagai DPRD terpilih,” ucapnya.
Disinggung soal kesaksian ahli penggugat, ia membenarkan adanya kesaksian ahli yang telah disampaikan didalam persidangan. Sehingga menurutnya, jawaban saksi ahli harus memprioritaskan hak pemilih dan hak kandidat.
Namun berbeda yang dialami kliennya, menurut pria berkacamata itu, kliennya sempat dilakukan pemecatan tanpa sebab. Olen karena itu, seharusnya partai memberikan penjelasan dasar pemecatan tersebut, apakah melanggar hukum atau cacat administrasi.
“Klien kami awalnya di pecat, tapi setelah konfirmasi ke partainya, tidak ada penjelasan secara jelas, apakah klien kami melanggar hukum atau cacat administrasi,” terangnya.