Di balik konstitusi pertama Indonesia yang lahir dalam guncangan perang dan semangat kemerdekaan, berdiri sosok yang nyaris terlupakan oleh generasi baru: Prof. Mr. Dr. Soepomo. Seorang aristokrat Jawa, pengacara dengan pendidikan Eropa, dan seorang pemikir radikal dalam bayang-bayang kekuasaan kolonial.
Dikenal sebagai Bapak Konstitusi Indonesia, Soepomo bukan hanya perumus hukum; ia adalah perancang filosofi bernegara. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945, Soepomo menjadi suara lantang yang mendorong lahirnya konsep negara integralistik—ide bahwa negara adalah satu tubuh, utuh, dan tidak terpecah oleh kepentingan individu atau golongan.
Lahir pada 22 Januari 1903 di Sukoharjo, Jawa Tengah, Soepomo tumbuh di lingkungan priyayi dengan warisan politik. Kakek dari pihak ayah dan ibu pernah menjabat sebagai bupati—sebuah warisan kekuasaan lokal yang membentuk karakter intelektual muda ini.
Ia menapaki jalur pendidikan kolonial: ELS Boyolali, MULO Solo, lalu Bataviasche Rechtsschool di Jakarta, tempat para elit bumiputra digembleng dalam hukum Eropa. Namun titik baliknya datang ketika ia dikirim ke Leiden University, Belanda. Di sana, di tengah debat hukum kolonial dan gerakan dekolonisasi, Soepomo menulis disertasi tentang reformasi agraria di Surakarta—tema yang mencerminkan kepeduliannya pada keadilan sosial sejak awal.
Ketika sejarah berputar cepat pada tahun 1945, Soepomo duduk dalam lingkaran terdalam perumus kemerdekaan. Ia bukan hanya teknokrat hukum, tapi seorang ideolog.
Dalam sidang BPUPKI, ia menolak ide negara Islam maupun negara liberal individualistik ala Barat. Sebaliknya, ia mengusulkan model yang terinspirasi dari Jerman dan Jepang kala itu—negara yang kuat, terpadu, dan memprioritaskan harmoni sosial di atas kepentingan pribadi. Ia menyebutnya “negara keluarga.”