Tokoh  

Sultan Agung: Raja Pejuang, Budayawan, dan Tokoh Penguat Identitas Jawa

Madurapers
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung, merupakan seorang pemimpin visioner di Nusantara pada abad ke-17.
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung, merupakan seorang pemimpin visioner di Nusantara pada abad ke-17. (Foto: Istimewa)

Di tengah gejolak sejarah nusantara abad ke-17, Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma, atau lebih dikenal dengan Sultan Agung, muncul sebagai pemimpin dengan visi besar, yang menyatukan kekuatan militer, intelektual, dan budaya Jawa. Lahir di Kotagede pada 1593 dan wafat di Karta tahun 1645, ia menjadi raja Mataram ketiga, dan satu-satunya pemegang gelar sultan dari kerajaan tersebut.

Ia memerintah sejak usia 20 tahun, menggantikan Pangeran Martapura—saudara tirinya yang hanya bertakhta selama sehari. Penobatan Pangeran Martapura yang memiliki keterbatasan mental semata-mata memenuhi janji politik ayah mereka kepada Ratu Tulungayu, ibunya.

Di awal masa kekuasaannya, ia memakai gelar Susuhunan Anyakrakusuma dan kemudian menjadi Sunan Agung setelah menaklukkan Madura tahun 1624. Baru pada 1641 ia resmi menyandang gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani al-Jawi dari Syarif Mekkah.

Gelar tersebut membedakannya dari raja-raja Mataram lainnya dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin religius sekaligus politikus. Ia menjadi satu-satunya penguasa Mataram yang diakui sebagai sultan oleh otoritas Islam global saat itu.

Dalam usaha menyatukan Jawa, Sultan Agung menghadapi kekuatan kolonial Belanda yang mulai menancapkan pengaruhnya di Banten dan Batavia. Ia melihat kehadiran VOC di Batavia sebagai ancaman langsung terhadap hegemoni Mataram.

Penyerangan pertama pada 1628 terhadap Batavia mengalami kegagalan karena logistik buruk dan lemahnya suplai pangan. Namun, kampanye militer tahun 1629 kembali dilancarkan dengan dua gelombang pasukan dipimpin Dipati Ukur dan Adipati Juminah.

Strategi menyerang sungai Ciliwung menyebabkan wabah kolera di Batavia, yang merenggut nyawa Gubernur Jenderal Belanda J.P. Coen. Meskipun gagal merebut kota, dampaknya sangat signifikan secara militer dan psikologis bagi lawannya.

Sultan Agung juga dikenal sebagai filsuf dan seniman, pencipta kalender Jawa yang menggabungkan sistem Hijriyah dengan penanggalan Saka. Ia menulis karya sastra monumental Serat Sastra Gendhing, yang menyatukan ajaran spiritual dan keindahan musikal.