Opini  

Ancaman Deepfake Porn: Kekerasan Seksual Berbasis Digital dan Kesenjangan Regulasi Di Indonesia

Rizka Aprilia - Penulis

KASUS “Exes’ Secret” yang baru-baru ini viral di media sosial telah mengejutkan masyarakat dan kembali mengungkap sisi gelap teknologi digital, khususnya dalam bentuk deepfake porn. Dalam video unggahan YouTube Voice of America seorang penyintas bernama Alana menceritakan bahwa terdapat channel saluran Telegram yang menjadi bahan perjualbelian konten intim bebas, bahkan beberapa konten diduga merupakan deepfake porn.

Deepfake porn adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO). Teknologi ini menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memanipulasi citra manusia secara digital. Dalam kasus ini, teknologi deepfake digunakan untuk menciptakan video pornografi yang tampak nyata dengan wajah-wajah korban yang diambil dari foto atau video pribadi. Hal ini memunculkan rasa khawatir terhadap privasi digital terutama bagi perempuan yang sering menjadi target utama. Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengatakan bahwa kasus penyebaran video asusila lebih banyak dialami oleh perempuan. Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 mencatat bahwa terdapat 1135 korban yang melaporkan kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan kekerasan seksual di ruang publik.

Teknologi deepfake memungkinkan manipulasi wajah seseorang agar tampak seolah-olah mereka melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, teknologi ini menghasilkan video yang tampak realistis. Ironisnya teknologi canggih ini sering kali digunakan sebagai senjata balas dendam, terutama dalam hubungan pasangan yang berakhir tidak baik di mana mantan pasangan menggunakan deepfake untuk merusak citra dan privasi korban.

Fenomena ini bukan sekadar masalah pelanggaran teknologi, tetapi juga bagian dari kekerasan seksual berbasis digital. Dalam hal ini, korban tidak hanya dirugikan secara visual, tetapi juga secara emosional. Banyak korban dari deepfake porn ini yang mengalami trauma mendalam. Korban deepfake sering kali merasa terhina, diserang secara psikologis, dan mengalami stres berat karena melihat wajah mereka ada dalam video yang mengandung unsur pornografi yang semua itu tidak pernah mereka buat.

Salah satu hal yang membuat fenomena ini lebih parah yaitu adanya kecepatan penyebaran kontennya. Setelah diunggah ke internet, video deepfake bisa menyebar sangat cepat dan hampir mustahil untuk sepenuhnya dihapus. Meskipun beberapa video bisa dihapus, kemungkinan besar kontennya sudah diunduh dan disebarkan kembali oleh orang lain. Situasi ini menyebabkan kekerasan berulang, di mana korban terus-menerus merasakan dampak negatif dari penyebaran video palsu tersebut.

Deepfake porn bisa merusak reputasi profesional korban. Penyebaran video semacam ini bisa menghancurkan karier mereka. Bahkan jika masyarakat menyadari bahwa video tersebut palsu, stigma negatif tetap bisa melekat. Dalam masyarakat yang sering menyalahkan korban, perempuan yang menjadi target deepfake sering kali mendapatkan cap buruk dan dikucilkan. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya dampak dari teknologi ini, tidak hanya pada korban secara individu, tetapi juga pada kehidupan sosial mereka.

Salah satu tantangan terbesar dalam menangani kasus deepfake pornografi adalah masih lemahnya regulasi hukum di Indonesia. Indonesia telah memberikan perlindungan hukum melalui UU ITE, UU Pornografi, dan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru yang menetapkan sanksi tegas bagi pelaku kejahatan. Meskipun Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menetapkan aturan tentang pencemaran nama baik dan penyebaran konten ilegal, regulasi khusus yang mengatur deepfake, terutama dalam konteks pornografi masih sangat terbatas dan kurang memadai. Sementara teknologi deepfake berkembang dengan cepat, hukum yang mengaturnya belum mampu mengejar kecepatan perkembangan teknologi tersebut.

Kekosongan hukum terhadap penyalahgunaan teknologi deepfake memungkinkan para pelaku lolos dari tuntutan hukum. Hal tersebut dikarenakan tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menjerat pelaku berdasarkan penggunaan teknologi deepfake. Keadaan tersebut juga membuat korban menjadi kesulitan memperoleh keadilan karena proses pembuktian bahwa video atau gambar yang beredar merupakan hasil teknologi deepfake membutuhkan keahlian forensik digital yang sangat kompleks dan belum sepenuhnya diakomodasi salam sistem hukum yang ada. Kesenjangan ini menunjukkan perlunya pembaruan dan penyesuaian regulasi agar dapat mengantisipasi potensi penyalahgunaan teknologi deepfake di masa mendatang.

Hukum Indonesia belum cukup tanggap dalam melindungi privasi digital. Penggunaan video atau gambar seseorang tanpa izin, terutama untuk tujuan yang merugikan jelas merupakan pelanggaran privasi yang serius. Namun, hingga saat ini korban sering kali dihadapkan pada proses hukum yang panjang, rumit, dan melelahkan sementara itu pelaku sering kali lolos dari jeratan hukum.

Selain dari sisi penegakan hukum, platform media sosial dan situs berbagi video juga memiliki tanggung jawab besar dalam menangani penyebaran konten deepfake. Sebagai tempat utama di mana konten tersebut tersebar, platform media sosial harus aktif dalam mendeteksi dan menghapus konten deepfake, terutama yang bersifat pornografi secepat mungkin. Meskipun beberapa perusahaan teknologi sudah memiliki kebijakan yang melarang konten negatif, tantangan terbesar adalah mendeteksi dan menghapusnya sebelum menyebar luas.

Dengan teknologi yang semakin canggih, hasil deepfake kini semakin sulit dibedakan dari kenyataan. Hal tersebut membuat pendeteksian menjadi lebih rumit. Walaupun kecerdasan buatan sudah mulai digunakan untuk mendeteksi deepfake, teknologi ini masih belum sempurna. Selain itu, platform sering lamban dalam merespons laporan korban sementara konten deepfake menyebar dengan cepat. Situasi ini menempatkan korban dalam posisi sulit karena mereka harus menyaksikan konten yang merusak reputasi mereka menyebar tanpa kendali sementara proses penghapusan konten berlangsung lama dan tidak efektif.

Di tengah minimnya regulasi dan perlindungan hukum terkait teknologi digital, langkah penting yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pendidikan digital di kalangan masyarakat. Masyarakat perlu memahami risiko yang ditimbulkan oleh teknologi deepfake yang dapat disalahgunakan untuk tujuan negatif. Oleh karena itu, edukasi mengenai pentingnya menjaga privasi dan keamanan data diri di dunia digital menjadi sangat krusial. Pengetahuan ini akan membantu seseorang melindungi diri dari potensi penyalahgunaan teknologi deepfake dan meningkatkan kewaspadaan terhadap konten yang tidak valid atau menyesatkan.

Masyarakat perlu lebih sadar akan kekerasan seksual berbasis digital yang sering kali menimbulkan stigma negatif pada korban. Hal tersebut bertujuan untuk mengubah pandangan yang sering kali menyalahkan korban dan mendorong perlindungan terhadap mereka yang dirugikan. Dengan meningkatkan kesadaran publik, kita dapat membangun lingkungan digital yang lebih aman di mana orang tidak terlibat dalam penyebaran konten merugikan dan lebih bertanggung jawab dalam menjaga privasi serta keamanan sesama pengguna.

***Rizka Aprilia – Mahasiswa Fakultas Farmasi UNAIR

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca