Di samping ketidak jelasan mekanisme di atas, muncul kekhawatiran baru terhadap institusi bupati. Mengingat, bupati merupakan produk politik dan juga diusung oleh Parpol (Partai Politik), maka dikhawatirkan banyak intervensi politik dalam memutus sengketa/perselisihan hasil suara pemilihan kepala desa.
Selain itu, konsep penyelesaian sengketa yang pelaksanaanya di luar pengadilan (alternative dispute resolution) juga berhak dikritisi untuk menghindari keberpihakan bupati kepada salah satu calon atau menjalin koneksi dengan pihak yang dimenangkan dengan motif politik balas budi untuk melanggengkan kekuasaanya.
Dalam konteks ini kehadiran pemerintah dalam penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa bukan untuk mengintervensi atau memaksakan kehendak, tetapi tetap menghormati eksistensi desa yang memiliki otonomi (asli) tersendiri yang secara limitatif sudah dijelaskan di dalam UUD 1945 (Bisma, 13: 2015). Namun, kealpaan pemerintah untuk desa juga kurang tepat. Maka dari itu kehadiran pemerintah hanya dalam memfasilitasi bukan untuk mendikte atau intervensi.
Lalu bagaimana dengan panitia tingkat kabupaten? Panitia kabupaten atau akrab disebut TFPKD hanya sebatas panitia dan tidak mempunyai kewenangan apapun dalam penyelesaian sengketa, apabila pemilihan kepala desa selesai, maka tugasnya sebagai pelaksana juga selesai dan bubar.
Bagaimana Idealnya?
Selain kekhawatiran di atas, penyelesaian sengketa hasil Pilkades kepada bupati tidak sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan di dalam penyelenggaraan pemerintahan (separation of power). Oleh karena itu, alangkah baiknya bupati selaku pihak yang diamanatkan undang-undang untuk menyelesaikan sengketa, selain menetapkan suatu aturan yang jelas sebagai dasar hukum, juga membentuk badan ad hoc yang bersifat independen yang bertugas menyelesaikan sengketa, sehingga tercipta ruang sengketa bagi para calon yang merasa keberatan dengan hasil suara pemilihan kepala desa, dan keberadaan ruang tersebut dapat meminimalisir tindakan kekerasan antar pihak yang bersengketa. Untuk menjamin independensi badan ad hoc tersebut, unsur di dalamnya bisa saja diisi dari lembaga peradilan terkait, perangkat daerah yang mempunyai fungsi legislasi (DPRD) dan dinas terkait.