Kita, manusia, hidup dalam zaman ini—zaman di mana segala sesuatu memiliki bentuk, tetapi juga tak lepas dari kefanaan. Hidup dan mati, bertemu dan berpisah, semuanya adalah gema pertarungan cinta dan benci.
Ketika perceraian mencapai puncaknya, zaman ketiga tiba dengan benci sebagai penguasa mutlak. Alam semesta tercerai-berai dalam kesendirian total, cinta hanya tersisa sebagai bayangan di tepian realitas.
Pada titik ini, tidak ada lagi kehidupan, hanya anasir-anasir yang terpisah sempurna dalam keterasingan yang sunyi. Segala sesuatu yang pernah menyatu kini menjadi pecahan tanpa ikatan.
Namun, tiada kegelapan yang abadi, sebab cinta perlahan menyusup kembali dalam zaman keempat. Perpecahan mulai luruh, anasir kembali mendekat, membentuk susunan baru yang menyerupai zaman kedua.
Siklus ini terus berulang, menegaskan bahwa alam semesta bukanlah garis lurus menuju akhir, melainkan roda yang terus berputar. Cinta dan benci bukan sekadar perasaan, melainkan hukum dasar keberadaan.
Dalam hidup manusia, kedua prinsip ini pun berdiam di setiap hati, dalam setiap perjumpaan dan perpisahan. Kita bukan hanya saksi, tetapi juga bagian dari tarian abadi antara penyatuan dan perpecahan.