Seringkali, kematian akibat jam kerja yang panjang terjadi jauh di kemudian hari dalam beberapa dekade setelah melakukan pekerjaan dengan jam kerja yang panjang.
Menurut studi WHO, pekerjaan jarak jauh yang dilakukan secara online dan perlambatan ekonomi baru-baru ini (akibat pandemi Covid-19) telah meningkatkan risiko jam kerja yang panjang.
“Kami memiliki beberapa bukti yang menunjukkan bahwa ketika negara-negara melakukan lockdown (penguncian) nasional, jumlah jam kerja meningkat sekitar 10%,” kata Frank Pega, petugas teknis WHO.
Laporan studi ini memaparkan bahwa jam kerja yang panjang diperkirakan menjadi penyebab sekitar sepertiga dari semua penyakit yang diderita pekerja dan semakin memperparah pekerja yang memiliki riwayat penyakit sebelumnya.
Para peneliti WHO menjelaskan ada dua cara jam kerja panjang menyebabkan kesehatan memburuk: pertama, melalui respons fisiologis langsung terhadap stres, dan kedua, karena jam kerja yang lebih lama berarti pekerja lebih cenderung mengadopsi perilaku yang membahayakan kesehatan, seperti merokok, konsumsi minuman keras (mengandung alkohol), kurang tidur dan olahraga, dan diet yang tidak sehat.
Menurut studi WHO, sekitar 9% dari total populasi jumlah orang yang bekerja berjam-jam meningkat jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda dunia.
Di Inggris, Office for National Statistics/ONS (Kantor Statistik Nasional) menemukan bahwa orang yang bekerja dari rumah selama pandemi Covid-19 rata-rata kerja lembur selama enam jam. Ironisnya lagi, kerja lembur tersebut tidak dibayar dalam seminggu.
Kalo dlm konteks Indonesia, sebelum pandemik, ada 2 pola yg diterapkan, pola korporasi dan pola pemerintahan. Kalo pola korporasi 6 hari x 8 jam = 48 jam/minggu, itu di luar lembur, sedangkan pemerintahan 5 hari x 8 jam = 40 jam/minggu (krn Sabtu diliburkan), belum include lembur. Dlm konteks kesehatan kerja memang ASN lebih logis dan lebih memenuhi standart kesehatan fisiologis, psikologis dg kinerja yg terukur dan gaji di bawah korporasi. Sedangkan pekerja di korporasi dari sisi kesehatan fisiologis dan psikologis kurang baik, krn meskipun gaji lebih banyak dari pemerintahan (ASN) non-BUMN, namun tingkat kestresan tinggi krn kerja ditarget dan underpreassure shg berakibat munculnya imun lemah, intensitas kebahagiaan berkeluarga kurang, bahkan tuntutan lifestyle tinggi dan pada titik tertentu, munculnya suicide akibat depresi dan tekanan yg terakumulasi. Alhasil, ASN (non-BUMN) harus pandai bersyukur meskipun gaji dan lifestyle standart krn managemen stresnya bisa diimbangi oleh intensitas kebahagiaan dg keluarga lebih banyak daripada pekerja korporasi yg kerja underpreassure.
Ok Pak Ali. Trims atas komentarnya