Rofi juga menyebut program UHC di Sampang hanya bagus di atas kertas, tapi lemah dalam implementasi di lapangan.
Ia mendesak adanya evaluasi total terhadap sistem koordinasi antarinstansi, termasuk pelayanan rumah sakit dan BPJS.
Keluarga Harap Biaya Dikembalikan
Syamsul, kerabat almarhum, mengaku kecewa dan berharap rumah sakit dapat mengembalikan biaya pengobatan yang telah dibayarkan.
Menurutnya, keluarga almarhum hidup dalam keterbatasan ekonomi. “Kalau bisa dikembalikan biaya yang di RSD Ketapang. Soalnya Mohammat Dahri ini orang tidak mampu, siapa tahu bisa buat tambahan biaya tahlilan,” ujarnya lirih.
RS Akui Tidak Bisa Proses Karena Jam Operasional BPJS
Menanggapi hal ini, Humas RSD Ketapang, dr. Syafril Alfian Akbar, menjelaskan bahwa rumah sakit tidak memiliki kewenangan memproses UHC di luar jam operasional BPJS.
“Pasien datang jam 20.00, sementara layanan BPJS tutup jam 16.00,” jelas dr. Syafril.
Namun, pernyataan tersebut langsung dikritik oleh Rofi. Ia menyebut alasan tersebut mencerminkan lemahnya koordinasi dan minimnya kepekaan terhadap situasi darurat.
“Masyarakat tidak peduli jam kerja BPJS. Mereka butuh jaminan saat darurat. Ini bukan soal administrasi, ini soal nyawa warga miskin,” tandas Rofi.
Tamparan Bagi Pemkab Sampang
Kasus meninggalnya Mohammat Dahri menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Kabupaten Sampang. Program UHC yang seharusnya menjadi jaring pengaman kesehatan bagi warga kurang mampu, justru tidak hadir di saat paling dibutuhkan.
Pemerhati kebijakan publik menilai, Pemkab Sampang perlu segera melakukan perbaikan sistem layanan kesehatan darurat dan memperluas jam operasional verifikasi UHC, terutama bagi pasien gawat darurat.