Opini  

Konflik PWI vs Ba’alawi Mengurai Benang Kusut di Balik Gaduhnya Permukaan

Madurapers
Foto: Mahrus Ali (Tenaga Ahli DPR RI)

Indonesia, dengan masyarakatnya yang majemuk, tidak asing dengan dinamika dan gesekan sosial. Sejak akhir 2023, muncul sebuah konflik yang menarik perhatian publik, yakni perseteruan antara organisasi massa Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) dan komunitas Habib Ba’alawi. Konflik ini dengan cepat merambah dari debat keilmuan menjadi ketegangan yang berpotensi adu massa.

Di permukaan, persoalan tampak bersumber pada perbedaan klaim sejarah dan keagamaan. Namun, bila dicermati lebih dalam, terdapat pertanyaan yang menggelayut’ apakah konflik identitas seperti ini sengaja dikelola untuk mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah fundamental bangsa, seperti perampokan sumber daya alam yang nyaris lenyap dari pemberitaan? Konflik PWI versus Ba’alawi dari tiga dimensi yaitu adu eksistensi, keilmuan, dan kekuatan massa serta eksplorasi peran dan kepentingan para tokoh negeri, termasuk TNI, Polri, dan pengusaha besar, dalam lakon ini.

Adu Eksistensi dan Narasi Perebutan Otoritas Keagamaan

Perseteruan ini berpusat pada dua klaim kebenaran yang saling bertolak belakang mengenai nasab (keturunan) dan otoritas keagamaan. PWI, yang mengklaim berakar dari tradisi Nahdlatul Ulama (NU), menyatakan kelahirannya sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh yang mereka sebut sebagai “kelompok transnasional radikal” dan “doktrin palsu” tentang nasab yang disebarkan oleh kalangan Habib keturunan Arab, khususnya dari keluarga Ba’alawi. Eksistensi mereka dipertentangkan dengan eksistensi komunitas Ba’alawi yang telah lama memiliki pengaruh di Nusantara.

Di sisi lain, komunitas Ba’alawi, yang sering disapa dengan sebutan “Habib”, mengaku keturunan dari Hadramaut, Yaman, yang telah berasimilasi panjang di Indonesia. Mereka memiliki jaringan keilmuan dan spiritual yang mapan, dengan pengaruh signifikan dalam dakwah dan masyarakat yang ditengarai membangun banyak kuburan, kemudian muncul doktrinasi bahwa kuburan tersebut keramat dan lebih mengarah pada kemusyrikan.

Konflik ini mencapai titik didih ketika PWI secara terang-terangan mempertanyakan keabsahan klaim nasab Ba’alawi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Seorang penulis yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua II PWI Pusat, R.TB. Moggi Nurfadhil Satya, bahkan mempublikasikan tulisan yang menyatakan bahwa klaim nasab Ba’alawi “secara ilmiah tidak masuk akal” berdasarkan bukti tes DNA yang menunjukkan perbedaan haplogroup dengan keturunan Bani Hashim (klan Nabi) yang terverifikasi.

Dari Debat Keilmuan Hingga Adu Kekuatan Massa

Medan pertempuran tidak hanya berhenti pada wacana. Medan pertempuran telah meluas setidaknya ke dua arena, debat keilmuan yang sengit dan konfrontasi fisik yang mengkhawatirkan.

Arena Keilmuan dan Publik
PWI menggunakan pendekatan “ilmiah” meskipun kontroversial dengan memanfaatkan genetika dan kritik sejarah untuk mendekonstruksi klaim Ba’alawi. Mereka berargumen bahwa pemalsuan nasab berbahaya bagi harmoni sosial karena dapat menyebarkan narasi supremasi yang merendahkan ulama pribumi dan mengganggu integritas agama.

Di sisi lain, komunitas Ba’alawi memiliki basis keilmuan yang kokoh melalui kitab-kitab turats (klasik) dan jaringan jam’iyah yang mereka kelola, yang selama ini menjadi sumber otoritas mereka. Bentrokan wacana ini menciptakan polarisasi di kalangan umat Islam Indonesia, bahkan memicu pernyataan keprihatinan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mendorong kedua belah pihak untuk berdamai dan menjunjung tinggi Ukhuwah Islamiyah.