Bangkalan – Di tengah perjalanan sejarah panjang manusia, ada satu tema yang terus berulang: hasrat akan kekuasaan yang berlebihan, atau yang sering disebut megalomania. Megalomania, secara sederhana, adalah obsesi atau ambisi yang tidak masuk akal untuk menguasai dan mengendalikan segalanya di sekitar seseorang. Ketika megalomania merayap ke dalam politik, dampaknya bisa sangat merusak dan menghancurkan, mempengaruhi jutaan nyawa dan membawa konsekuensi yang memilukan.
Megalomania dalam politik terkadang tersembunyi di balik kedok idealisme atau misi mulia, tetapi seringkali mengungkapkan dirinya dalam perilaku otoriter, keputusan impulsif, dan penggunaan kekuatan untuk memperkuat posisi seseorang tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjang. Para pemimpin yang terkena megalomania cenderung melihat dirinya sebagai pusat alam semesta, dan semua orang lain hanya menjadi alat untuk mencapai tujuannya yang besar.
Salah satu contoh nyata megalomania dalam sejarah politik adalah Adolf Hitler, pemimpin Nazi Jerman selama Perang Dunia II. Ambisinya untuk mendominasi Eropa dan menghilangkan “ras yang tidak diinginkan” membawa konsekuensi yang mengerikan, termasuk kematian jutaan orang Yahudi dan korban lainnya dalam Holocaust. Penggunaan kekuatan dan propaganda untuk mengendalikan pikiran dan tindakan rakyatnya adalah contoh klasik dari megalomania politik yang menghancurkan.
Namun, megalomania tidak selalu terjadi pada skala sebesar Hitler. Dalam skala yang lebih kecil, megalomania dapat ditemukan di tingkat nasional dan lokal, di antara para pemimpin nasional, provinsi dan kabupaten/kota atau bahkan kepala desa. Ketika seseorang terobsesi dengan kekuasaan dan kepentingan pribadinya di atas segalanya, kesejahteraan masyarakat seringkali menjadi korban.