“Pak Jokowi tolong pak. Anak saya dijerumuskan ke sel. Padahal, anak saya tidak salah. Kami butuh keadilan pak Presiden. Tolong bantu kami agar hukum di Indonesia ditegakkan seadil-adilnya,” kata Swee, ibu terdakwa Irwan pada awak media.
Sementara itu, Drs. Bima Putera Limahardja , S.H., juru bicara tim PH-nya kedua terdakwa, merasa kalau ada kejanggalan dalam tuntutan itu dan tidak sesuai fakta persidangan.
Sebab, menurutnya ada pertimbangan jaksa yang tidak ada dalam dakwaan, yakni saksi korban yang merasa dirugikan karena gaji sebesar Rp58 juta hilang.
Pertimbangan tersebut, sambung Bima Putera Limahardja tidak pernah sama sekali tertuang dalam dakwaan sebagai obyek perkara.
Dalam dakwaan tersebut, kata Bima Putera Limahardja hanya tertuang kalau Richard Sutanto mengalami kerugian sebesar 200 lembar senilai Rp200 juta.
Parahnya lagi, di persidangan awal, menurut Bima Putera Limahardja bila saksi korban Richard Susanto sendiri tidak mengakui isi dakwaan JPU dan malah menyalahkan dakwaan Jaksa.
“Kalau saksi korban atau pelapor saja sudah membantah, terus persidangan ini jalan atas dasar apa? Apalagi sampai tuntutan,” sentilnya.
Juga saksi penting, yakni Notaris Adhi Nugroho jelas Bima Putera Limahardja tidak dihadirkan dalam persidangan, sebab berkaitan pemberian keterangan palsu sesuai dalam Pasal 266 KUHAPidana.
Padahal lanjut Bima Putera Limahardja, Notaris yang menerbitkan akte perubahan Direksi PT Hobi Abadi Internasional tidak dihadirkan dalam pemeriksaan ataupun dalam persidangan.
“Ahli juga menegaskan kalau kasus ini harus ada keterangan Notaris. Anehnya lagi, kenapa kasus ini dinyatakan lengkap di kejaksaan,” imbuhnya.