Tokoh lokal yang kedua ialah tokoh kampung. Tokoh yang satu ini bukanlah kiai seperti yang disebut di atas, namun keberadaannya bagi masyarakat diakui dan dihormati sebagai sesepuh desa/kampung.
Kedua tokoh di atas sangat potensial bagi elit pemerintah Bangkalan untuk diajak bekerjasama dalam memutus mata rantai Covid-19. Bukan meremehkan kinerja Tim Gugus Tugas, namun tidak menutup kemungkinan (underestimate) di bawah sana ada statemen yang kontra produktif dengan kehendak pemerintah, misalnya, “yang penting iman kepada Allah” atau “tako’ ka Allah benni ka Corona”. Pernyataan semacam ini tidak mungkin diluruskan oleh penegak prokes atau pemerintah terkait, harus kiai dan tokoh masyarakat yang turun tangan meluruskan pandangan fatal ini.
Adil dalam Penegakan Prokes
Keengganan masyarakat mematuhi Prokes selama ini tidak hanya ditimbulkan dari pandangan sempit masyarakat, tetapi juga terdapat penegakan Prokes oleh pihak yang berwenang yang non equal (tidak adil), sehingga masyarakat merasa jengkel dan kepercayaannya kepada pihak penegak Prokes menurun. Misalnya, shalawatan tetap jalan sedangkan hajatan beberapa kelompok dilarang, bahkan lebih parahnya lagi di pedesaan marak hiburan dan walimahan yang menimbulkan kerumunan (baca: https://madurapers.com/2021/03/03/dirasa-tebang-pilih-dalam-penerapan-prokes-covid-19-pmb-gelar-dialog-publik/).