Opini  

Pentingnya Peran Elit Lokal dalam Mengatasi Covid-19 di Bangkalan

Ilustrasi Penegakan Prokes oleh Pihak Berwajib

Tulisan ini sebagai refleksi setelah saya melihat mobil Polres Bangkalan pada tanggal 10/06/21, pukul 21.00 WIB, mengelilingi kota Bangkalan mensosialisasikan Prokes yang dipresentasikan menggunakan video Bupati Bangkalan melalui layar lebar pada box mobil tersebut.

Beberapa hari ini, lonjakan kasus positif Covid-19 di Bangkalan menjadi isu nasional seiring dengan diperketatnya akses keluar masuk Jembatan Suramadu. Sebagai garda depan dalam menanggulangi virus ini adalah Nakes dan berikutnya pemerintah terkait. Namun, sekeras apapun upaya pemerintah Bangkalan apabila masyarakat sendiri tidak mengijabah kehendak pemerintah, maka dapat dipastikan hasilnya tidak akan maksimal. Untuk itu, dalam konteks Bangkalan, dalam menanggulangi lonjakan kasus positif Covid-19 ini diperlukan peran berbagai pihak.

Elit/Tokoh Lokal

Sebenarnya, saya pribadi merasa kecewa dengan pernyataan Polda Jatim di CNN Indonesia pada Rabu 09 Juni 2021, bahwa pihaknya merayu warga Madura dengan memberikan beras dan mie instan agar mau di tes Swab. Untuk alasan kesehatan sah-sah saja, namun ini bukan cara ataupun solusi cerdas, lebih kepada tindakan mempermalukan, bahkan kesannya bisa disebut menghina warga Madura.

Padahal, cara-cara yang lebih soft masih dapat ditempuh, salah satunya bekerja sama dengan elit lokal. Elit lokal yang saya maksud adalah kyai dan tokoh-tokoh masyarakat. Pandangan ini bukan berangkat dari ruang kosong, perlu diketahui bahwa biasanya orang Madura sering berkonsultasi kepada kyai tentang berbagai macam hal, baik itu tentang agama, hari yang tepat untuk memanen padi dan sejenisnya, hari kelahiran, penamaan bayi dan kegiatan lainnya, bahkan mungkin juga Nakes bisa menjadi solusi kedua setelah kyai. 

Lebih tepatnya, kyai bagi orang Madura merupakan panutan dan junjungan yang pantang ditolak pendapat dan fatwanya, apalagi masih ada hubungan santri-guru. Meminjam teori politik Gabriel Abraham Almond (1950), ilmuwan politik Amerika, jika melihat kebiasaan masyarakat Madura, ialah lebih dekat kepada budaya politik parokial, dimana kebiasaannya manut apa kata junjungannya, atau sebagaimana dikatakan Geertz (1954) adalah “kulo”, dimana penghormatannya kepada tokoh agama sangat totalitas dan tak dapat diragukan lagi.

Tokoh lokal yang kedua ialah tokoh kampung. Tokoh yang satu ini bukanlah kiai seperti yang disebut di atas,  namun keberadaannya bagi masyarakat diakui dan dihormati sebagai sesepuh desa/kampung. 

Kedua tokoh di atas sangat potensial bagi elit pemerintah Bangkalan untuk diajak bekerjasama dalam memutus mata rantai Covid-19. Bukan meremehkan kinerja Tim Gugus Tugas, namun tidak menutup kemungkinan (underestimate) di bawah sana ada statemen yang kontra produktif dengan kehendak pemerintah, misalnya, “yang penting iman kepada Allah” atau “tako’ ka Allah benni ka Corona”. Pernyataan semacam ini tidak mungkin diluruskan oleh penegak prokes atau pemerintah terkait, harus kiai dan tokoh masyarakat yang turun tangan meluruskan pandangan fatal ini.

Adil dalam Penegakan Prokes