KURANGNYA Eksistensi Pencalonan Kepala Daerah yang Berlatar Mantan Narapidana. Dalam sistem demokrasi, partisipasi dalam politik adalah hak dasar yang dimiliki oleh setiap warga negara, termasuk mantan narapidana. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa eksistensi pencalonan kepala daerah yang berlatar belakang mantan narapidana masih sangat minim. Fenomena ini bukan hanya disebabkan oleh stigma sosial yang melekat pada status mantan narapidana, tetapi juga oleh berbagai faktor hukum, etika, dan politik yang membatasi ruang gerak mereka.
Hak Politik Mantan Narapidana
Dalam konstitusi banyak negara, termasuk Indonesia, semua warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih. Namun, hak ini tidak selalu dapat dijalankan secara penuh oleh mantan narapidana. Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, misalnya, mengatur bahwa mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus mengumumkan statusnya kepada publik dan telah melewati masa jeda lima tahun setelah selesai menjalani hukuman. Aturan ini menimbulkan dua implikasi penting: pertama, adanya pengakuan terhadap hak politik mantan narapidana; kedua, adanya batasan yang mempersempit peluang mereka untuk berpartisipasi dalam politik.
Aturan ini sering kali menjadi tantangan bagi mantan narapidana yang ingin mencalonkan diri. Meskipun mereka secara hukum telah direhabilitasi, label “mantan narapidana” tetap melekat dan sering digunakan sebagai senjata politik oleh lawan mereka. Publik pun sering memandang skeptis kandidat dengan latar belakang ini, meskipun mereka memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik di bidang lain.