Wacana penundaan Pemilu 2024 menjadi isu elites yang kian bergulir masif. Isu yang dihembuskan oleh beberapa pimpinan partai politik pendukung pemerintah tidak hanya menggulirkan isu untuk mendapatkan feedback dari publik, tetapi juga gencar mencari dukungan dari partai politik lainnya.
Sebagian pihak menganggap usulan ini tidak mendasar dan ‘joke’ politik di tengah kondisi bangsa yang dilanda pandemi global. Namun, sebagian lagi melihat ada “skenario besar yang tersembunyi” karena sebelumnya ada isu presiden tiga periode menggelinding kuat, walau pada akhirnya berhenti setelah ada penolakan kuat.
Para pendukung penundaan Pemilu itu beralasan bahwa penundaan Pemilu merupakan aspirasi masyarakat yang perlu diakomodir dan disuarakan.di level legislatif.
Sebut saja, seperti Abdul Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB, yang belakangan ini sangat gencar mensosialisasikan diri sebagai salah satu capres. Usulan itu muncul setelah dirinya melakukan pertemuan tertutup dengan pelaku UMKM, pebisnis, hingga para analisis ekonomi dari berbagai perbankan (23/02/2022).
Hal serupa juga diungkap oleh Airlangga Hartanto, Ketua Umum DPP Partai Golkar. Menurutnya, penundaan Pemilu didasarkan pada aspirasi rakyat, yang harus diakomodir karena suara rakyat adalah suara Golkar (11/03/2022). Begitupun dengan Zulkifli Hasan, Ketua Umum DPP PAN, yang sejak awal menyatakan dukungannya atas penundaan Pemilu (23/02/2022).
Konteks narasi besar yang ingin dibangun para pencetus penundaan Pemilu 2024 adalah “atas nama rakyat” yang menghendakinya. Sebagai representasi rakyat, sudah seharusnya aspirasi itu diakomodir, diperjuangkan, dan mencari dukungan pimpinan partai politik lainnya agar dapat diwujudkan.
Aspirasi yang Kontraproduktif
Anehnya, pernyataan itu berbanding terbalik dengan survei yang dilakukan oleh lembaga survei terpercaya. Seperti yang dipublikasikan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA., yang mengungkap 66,2 persen pemilih PKB, 71,6 persen pemilih Golkar, dan 93,7 persen pemilih PAN menolak usul tersebut.
Secara tidak langsung, atas nama aspirasi rakyat yang selalu digaungkan oleh para elite di atas menjadi kehilangan legitimasi moral dan menunjukan lemahnya representasi politik, walaupun pada kenyataannya isu tersebut tetap dipaksakan sebagai suatu keniscayaan dengan cara mengkonsolidasikan kader-kader di legislatif agar menjadi agenda bersama.
Bahkan, belakangan muncul pernyataan Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (16/03/2022), yang mengklaim memiliki ‘big data’ bahwa 110 juta warganet meminta supaya Pemilu 2024 ditunda.
Pernyataan itu membuat keresahan dan kegaduhan yang tidak produktif. Selain itu, sumber datanya tidak pernah dipertanggungjawabkan secara akademis dan moral, sehingga layak diragukan validitasnya oleh berbagai kalangan.
Benturan Antarelite
Penolakan atas penundaan Pemilu juga semakin luas tidak hanya dari partai politik tetapi juga dari kekuatan masyarakat sipil (civil society). Kalangan ini sangat menyayangkan upaya ini karena mencederai konstitusi (UUD 1945, red.) dan demokrasi yang sudah mulai terkonsolidasi.
Setidaknya ada beberapa partai politik yang menyatakan menolak penundaan Pemilu, karena alasan fundamental dan taat pada konstitusi. Sebut saja seperti PDI-P, Partai NasDem, Partai Demokrat, PKS, PPP, dan Partai Gerindra.
Bahkan, dari kekuatan masyarakat sipil juga gencar menolak secara terang-terangan dan tegas atas inisiasi itu, seperti yang dilakukan oleh Perludem, Indonesia Political Review, dan Parameter Politik Indonesia.
Alasan penyelenggaraan Pemilu yang akan memunculkan instabilitas ekonomi bisa berlaku sebaliknya. Kalau konstitusi diamandemen dengan alasan yang tidak fundamental, ketidakpastian politik khususnya dalam pelembagaan demokrasi justru bisa berdampak buruk pada ketidakpastian ekonomi, apalagi di tengah gencar-gencarnya pemerintah mencari dukungan investasi.
Walaupun argumentasi yang dibangun para pendukung penundaan Pemilu cenderung dipaksakan, tidak akan mengubah fakta bahwa representasi politik formal gagal diterjemahkan dan diartikulasikan, sehingga demokrasi yang seharusnya sebagai pemerintahan “dari, oleh, dan untuk rakyat” cenderung mengarah ke “oligarki”.
Membaca Kepentingan Elite
Tulisan ini mencoba untuk membaca “hidden agenda” dan “hidden actor” yang determinan di balik penundaan Pemilu tanpa bermaksud memberikan pembenaran, melainkan sebuah refleksi dari fenomena politik yang berkembang dengan sinyal-sinyal yang dimunculkan.
Dilihat dari para elite pendukung penundaan Pemilu, sekilas mempunyai tujuan yang sama, namun motif dan tendensinya beragam bergantung pada aktor dan kepentingannya. Misal, seperti pimpinan Golkar dan PKB dapat dilihat sebagai pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan pencalonan presiden dengan sosialisasi yang luar biasa masif.
Penundaan Pemilu memberikan waktu yang lebih panjang untuk mempersiapkan diri dan menaikkan elektabilitas. Berbeda dengan PAN yang baru bergabung dengan koalisi pemerintah, memberikan peluang lebih besar untuk menempati posisi strategis, seperti menteri atau posisi lainnya, dengan adanya babak tambahan walaupun dalam pelaksanaannya tidak sesederhana itu.
Yang menarik adalah, adakah hubungan pemindahan Ibu Kota Negara dengan wacana penundaan Pemilu 2024? Tidak ada satu pernyataan para elite secara eksplisit menyebutkan relasi itu. Namun, tentu tidak melupakan saat Abdul Muhaimin Iskandar pernah mengusulkan gelaran Pemilu diundur selama satu sampai dua tahun berikutnya.
Di sisi lain, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pembangunan IKN adalah pekerjaan yang besar dan rumit, yang diperkirakan bisa diselesaikan dalam jangka waktu 15-20 tahun ke depan.
Perencanaan pembangunan diatur oleh UU No. 25 tentang SPPN Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, bahwa Perencanaan Pembangunan Nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.
Ada dua kondisi yang “mungkin” dapat dijadikan tolak ukur apakah wacana penundaan Pemilu mempunyai hubungan kuat dengan pembentukan IKN? Pertama, pemindahan IKN tidak disebutkan di dokumen RPJPN 2005-2025, namun dapat dilihat di RPJMN 2020-2024.
Kedua, ada selisih waktu satu tahun antarkeduanya, sehingga tugas pemerintahan baru yang terpilih pada Pemilu 2024 mendatang mempunyai dua tugas utama, yaitu merumuskan RPJPN dan RPJMN.
Dari kedua kondisi itu dapat digarisbawahi bahwa kemunculan IKN tidak berdasarkan pada RPJPN, melainkan dari RPJMN, sehingga pada saat lahir pemerintahan baru, bisa jadi RPJMN juga berubah haluan, termasuk pemindahan IKN, walaupun sudah dibentuk UU No. 3 Tahun 2022. Akan sangat berbeda kalau pemindahan IKN menjadi salah satu agenda strategis pada RPJPN yang bisa diturunkan pada RPJMN.
Sayangnya, masa jabatan presiden, wakil presiden, dan jabatan politis lainnya berakhir 2024. Penundaan Pemilu 1-2 tahun dan pemindahan IKN yang membutuhkan waktu 15-20 tahun memiliki arti penting dan pesan khusus bagi para pendukung pemindahan IKN dan koalisi pemerintah, agar bisa memasukkan pemindahan IKN pada RPJPN dan RPJMN selanjutnya, sehingga mempunyai dasar hukum lebih kuat.
Namun, keinginan itu akan berbenturan dengan penegakan konstitusi dan pelembagaan demokrasi. Siapapun penerus pemerintahan ke depan, seharusnya mempunyai tanggung jawab besar untuk merepresentasikan suara rakyat. IKN akan diuji dalam perjalanan waktu, apakah hanya sebatas keinginan elite atau harapan publik?
Abdul Mukhlis adalah pemerhati politik dan kebijakan publik, alumni magister Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya.