Bahasa daerah yang vitalitasnya mengalami kemunduruan ada 2 (2,70%) bahasa. Bahasa ini adalah Bahasa Hitu dan Tobati. Bahasa ini mengalami kemunduran karena sebagian penutur usia 5 tahun ke atas tidak menggunakan bahasa tersebut.
Bahasa daerah yang vitalitasnya terancam punah ada 22 (29,73%) bahasa.
Bahasa ini adalah Bahasa Adang, Bajau Tungkal Satu, Benggaulun, BKU, Bobat, Dubu, Hulung, Irarutu, Konjo, Lematang, Maklew/Makleu, Mander, Minahasa (Gorontalo), Namla, Podena, Ponosikan/Ponosakan, Samasuru, Sangihe Talaud, Suwawa, dan Usku. Bahasa ini terancam punah karena semua penutur usia 20 tahun ke atas, jumlahnya sedikit, dan tidak berbicara menggunakan bahasa tersebut pada orang usia sejajar dan anak-anaknya.
Bahasa daerah yang vitalitasnya kritis ada 4 (5,41%) bahasa. Bahasa ini adalah Bahasa Ibo, Meher, Reta, dan Saponi. Bahasa ini vitalitasnya kritis karena penuturnya usia 40 tahun ke atas dan jumlahnya sangat sedikit.
Bahasa daerah yang sudah punah ada 11 (14,86%) bahasa. Bahasa ini adalah Bahasa Hoti, Hukumina, Kajeli/Kayeli, Mawes, Moksela, Nila, Palumata, Piru, Serua, Tandia, dan Ternateno. Bahasa ini punah karena tidak ada lagi penuturnya.
Fenomena ancaman kepunahan bahasa ini perlu direspon cepat oleh pemerintah dan masyarakt. Pemerintah melalui kemendikbud dan Kemenag, sedangkan dari masyarakat melalui tokoh2 adat dan tokoh agama. Kedua entitas ini wajib melestarikan dg berbagai upaya dari hulu ke hilir, support anggaran,
kurukulum muatan lokal, pembentukan dewan pengawas bahasa daerah dan ketauladanan tokoh dan pemerintah dalam menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa keseharian.