Saya selalu bertanya perihal najisnya anjing setelah belajar penyakit rabies, kemudian menghubungkannya dengan sejarah anjing penjaga goa yang digambarkan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Kahfi melalui kisah pemuda yang tidur selam ratusan tahun serta menghubungkan dengan pelajaran-pelajarn Ilmu Fiqh yang saya pelajari sejak bersekolah di madrasah.
Dari itu, timbulah pertanyaan-pertanyaan terkait apakah anjing itu benar-benar najis atau memang kurangnya alat canggih pada zaman dahulu sehingga menajiskan semua anjing?
Sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh, penulis akan meletakan dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum memelihara anjing. Ada beberapa dalil yang menjelaskan tentang hukum memelihara anjing yang diantaranya:
وفي رواية لمسلم من اقتنى كلبا ليس بكلب صيد، ولا ماشية ولا أرض، فإنه ينقص من أجره قيراطان كل يوم
“Dalam riwayat Muslim Rasulullah SAW bersabda, Siapa saja yang memelihara anjing bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari.”
Sementara Ahlif Fiqh (Fuqaha) berpendapat:
وأما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية وهل يجوز لحفظ الدور والدروب ونحوها فيه وجهان أحدهما لا يجوز لظواهر الأحاديث فإنها مصرحة بالنهى الا لزرع أو صيد أو ماشية وأصحها يجوز قياسا على الثلاثة عملا بالعلة المفهومة من الاحاديث وهى الحاجة
“Adapun memelihara anjing tanpa hajat tertentu dalam madzhab kami adalah haram. Sedangkan memeliharanya untuk berburu, menjaga tanaman, atau menjaga ternak, boleh. Sementara ulama kami berbeda pendapat perihal memelihara anjing untuk jaga rumah, gerbang, atau lainnya. Pendapat pertama menyatakan tidak boleh dengan pertimbangan tekstual hadits. Hadits itu menyatakan larangannya secara lugas kecuali untuk menjaga tanaman, perburuan, dan jaga ternak. Pendapat kedua—ini lebih shahih—membolehkan dengan memakai qiyas atas tiga hajat tadi berdasarkan illat yang dipahami dari hadits tersebut, yaitu hajat tertentu.”