“Misalnya, ada suatu produk, namanya mafia merupakan suatu perbuatan yang terorganisir untuk melakukan perbuatan ilegal. Oleh karena itu, seringkali dilakukan itu adalah kalau mafia tanah bagaimana tanahnya seseorang bisa menjadi hak mereka (maksudnya pelaku mafia tanah, Red) dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Itu baru dapat kita melihat bahwa kita tahu,” paparnya ramah.
Akademisi yang juga dikenal sering menjadi Ahli Hukum Agraria dalam perkara sengketa kepemilikan tanah di Pengadilan ini memberikan ilustrasi praktik mafia tanah itu ibarat kentut, tidak bisa dilihat, tetapi disitu dapat dirasakan baunya. Dalam kaitannya dengan si A dan si B kata Agus baru diketahui setelah terjadi perkara di Pengadilan.
“Orangnya yang ini yang itu bisa kita lihat dari situ,” imbuhnya.
Ia lantas memberikan contoh, misalkan si A mempunyai sertifikat atas tanah, kemudian tiba – tiba ada orang yang menyatakan saya sudah membeli dari lelang, menurutnya praktik – praktik semacam itu jelas tidak mungkin. Selanjutnya sambung Agus, ada juga seseorang yang sudah mempunyai sertifikat bertahun-tahun, kemudian terdapat pihak lain yang melakukan gugatan, padahal secara yuridis sesuai Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan, apabila ada sebidang tanah yang sudah terbit sertifikat secara sah, nyata menguasai dan diperoleh dengan itikad baik, maka apabila selama 5 tahun itu tidak ada gugatan setelah terbitnya sertifikat tersebut menyebabkan menutup hak siapa saja yang merasa itu haknya.