Puisi  

PUISI-PUISI RIFQI SEPTIAN DEWANTARA

Ilustrasi foto oleh tim Madura Pers
Ilustrasi foto oleh Tim Madura Pers

I. SEPTEMBER HITAM MENGHADAP TRAGEDI

 

September hitam menghadap tragedi

Denging peluru

lari-lari!

tanah darah

saksi-sanksi!

 

Bulan bintang kesia-siaan

diperingatinya sebagai ratapan

 

Lengket sengketa!

centang temali

putar mengurai!

rintang delusi

 

Rentang kematian mengukur jarak keadilan, kemanusiaan—silang merekap

 

Melengung dagu di punggung indung

menyatu kalbu berkabung-kabung

 

Riwayat lawas sealun kelam, melayat mega mengawang-pandang

 

Sejarah terlalu tragis dan tangis

tanah-tanah masih berisi keruk dan dendam

2023

 

II. TUAN TANAH

 

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian yang saya banggakan, kalian bermukim di tanah langsat. Bernyanyi, menari, mengiring seekor sapi. Habis berkebun, meminum racun, hama terhibur, tanah menyembur. Negara sudah terjual; mengobral. Sarang semut di tanah air mengungsi ke pulau natal

 

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya sekalian yang saya muliakan, kami ucapkan selamat telah membeli negara dari bahasa dagang. Kami belajar memperagakan westernisasi ke anak cucu, untuk melenyapkan sebuah budaya asiafilia

 

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang saya hormati, mengapa tradisionil telah ditinggalkan oleh orang-orang setempat? apakah pribumi yang diberitakan itu, sudah menjadi replika orang-orangan sawah? tetapi bagaimana keadaan tikus di negara kami? apakah dia sudah menjadi tuan tanah di negeri lain?

 

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang saya hormati

Tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang saya hormati.

2023

 

III. MENGECAT USIA

 

Percikan di hari minggu membabar

ke dasar lengas

 

Kuas-kais terali patah

mematuk karat

 

Warna bunyi yang pudar; seperti usia yang usai

 

dari desir abu, dari kelopak ratu

mendominasi sebuah mendung

 

celoteh telah memberiku kabar

lewat kibasan kipas dan asap-lesap dibalik hutan

 

di situ, seekor monyet dan aku mengecat pisang dari terigu dan liur bayi

2023

 

IV. BOM BUNUH DIRI

 

Suara ledakan dari telinga polisi, mendengkur ke jantung teroris. Tembakan melesak dada; mengumandangkan undang-undang negara

 

Kekerasan mengakuri, kekejaman merabuni, jejak orang tak bersalah telah menghadap ke arah jeruji

 

Hukuman terpotong dari kesepakatan sebenarnya, siapa yang sedang kami hadapi di negara tersebut?

 

Bom waktu; seperti rentang sejarah sebelumnya, mengambil catatan-catatan lusuh, menggali apriori kumuh

 

Dirikan seorang aku yang menilai kebenaran, dirikan segamblang aku dari percakapan mata-mata. Dorongkan gambaran ketidakadilan seolah tak bernyawa; selanjutnya! seterusnya!

2023

 

V. INTERREGNUM

 

Mampukah koloni semut berpaling walau liang dipagar gula-gula?

Mampukah gerombolan kambing memakan rumput, walau tanah berendeng-rendeng kotoran?

 

Bangkai-bangkai berjamur kau musnah, rengga-rengka di punggung kau punah, tulang menanggung pun kau ruah, wujud lahad pung; kau curah

 

Batu-batu berjejer, membentuk gedung

padi-padi merenduk; bertumpuk pajak

beton aspal menambal, menyisir bahaya

manusia topang hidup bertimba uang

 

Jangankan mengotori, setapak kaki mengekor laba rugi, jangankan menabiri, ingat sedikit pun enggan menaburi.

2023

 

***Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur Mei 1998. Karya-karyanya pernah tersebar di beberapa media online dan buku antologi puisi bersama. Kini, bergiat dan berkarya di Halmahera, Maluku Utara. Bisa disapa melalui Facebook: Rifqi Septian Dewantara.

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca