Opini  

Penilaian Pemilu yang tidak Demokratis Membuat Rakyat Waswas

Madurapers
Usro’ Uddin, S.IP., adalah pegiat sosial media dan juga mantan aktivis sosial-politik di Kabupaten Bangkalan, Madura
Usro’ Uddin, S.IP., adalah pegiat sosial media dan juga mantan aktivis sosial-politik di Kabupaten Bangkalan, Madura (Dok. Madurapers, 2024).

Penyeleggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 di Indonesia, ramai di khalayak atau publik mensinyalir atau menduga terdapat kecurangan sistematis. Akibat hal tersebut lalu muncul reaksi protes dari pelbagai kalangan terkait Pemilu hingga usulan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menguat diantara elit politik dan kelompok kepentingan terkait Pemilu 2024.

Tentu, apabila kecurangan yang dituduhkan oleh pelbagai kalangan benar-benar terjadi dalam Pemilu (general election) 2024, maka sudah pasti berdampak buruk terhadap kualitas demokrasi elektoral (electoral democracy) Pemilu 2024. Selain itu, apabila itu terbukti, pendapat Joseph A. Schumpeter tentang Pemilu demokratis seperti permainan dalam “pasar politik” yang dikuasai dan dikendalikan oleh elit politik (bukan rakyat, pemilih), terbukti benar secara empirik.

Namun, terlepas dari permasalahan itu semua, termasuk pro kontra publik terhadap dugaan kecurangan Pemilu 2024 di Indonesia, lalu pertanyaannya dengan menggunakan logika falsifikasi (falsification logic) Karl Popper (terkenal dalam dunia akademik sebagai filsuf filsafat ilmu), bagaimana (apabila) penilaian Pemilu yang tidak demokratis?

Pemilu adalah salah satu penyanggah utama dari sistem demokrasi di banyak negara. Namun, saat Pemilu tidak berjalan dengan baik atau adil, hal itu dapat mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri. Di beberapa negara, Pemilu sering kali disertai dengan berbagai kontroversi yang menimbulkan keraguan akan keadilan dan kebenaran hasil Pemilu.

Salah satu contoh yang sering muncul adalah penilaian terhadap Pemilu yang dianggap tidak demokratis. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, manipulasi suara, hingga kecurangan Pemilu yang terorganisir. Ketika Pemilu dianggap tidak demokratis, itu menciptakan ketidakpercayaan dan ketegangan di antara rakyat serta merusak legitimasi pemerintahan yang terpilih.

Salah satu aspek yang sering diperdebatkan dalam penilaian Pemilu yang tidak demokratis adalah keterlibatan pemerintah atau badan penyelenggara dan badan pengawas Pemilu yang tidak netral. Badan penyelenggara (konteks Indonesia: KPU) dan badan pengawas Pemilu (konteks Indonesia: Bawaslu) yang independen dan adil sangat penting untuk memastikan transparansi dan keadilan dalam proses Pemilu.

Namun, ketika badan penyelenggara dan pengawas Pemilu tersebut terpengaruh atau dikendalikan oleh pihak pemerintah atau kekuatan politik tertentu, maka sudah pasti Pemilu tersebut menjadi rentan terhadap manipulasi (manipulate) dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Selain itu, penekanan pada kebebasan berpendapat dan media yang independen juga sangat penting dalam menilai demokrasi sebuah Pemilu. Ketika kebebasan berekspresi terkekang atau media tidak bebas untuk melaporkan dengan objektif, maka informasi yang diterima oleh publik menjadi terbatas atau bahkan terdistorsi. Ini dapat memengaruhi persepsi publik terhadap calon dan partai politik serta mengurangi kemungkinan terjadinya pemilihan yang adil dan bebas.